KOTA WAMENA, iNewssorongraya.id – Aksi demonstrasi yang digelar sejumlah mantan kepala kampung di Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, Senin (8/9/2025), berakhir ricuh. Massa yang menolak pergantian serentak 328 kepala kampung oleh Bupati Jayawijaya Atenius Murip dan Wakil Bupati Ronny Elopere merusak fasilitas Kantor Bupati Jayawijaya atau Gedung Putih di Wamena.
Ketidakpuasan memuncak sejak sehari sebelumnya, Minggu (7/9/2025), ketika keputusan pergantian diumumkan. Dari 328 kampung, hanya satu kepala kampung yang dipertahankan. Kondisi ini memicu protes terbuka. Bahkan tujuh mantan kepala kampung di Distrik Tagineri melakukan pemalangan kantor distrik sebagai bentuk penolakan.
Mereka menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan regulasi. “Pergantian ini melanggar Undang-Undang Desa dan peraturan Kementerian Desa, sebab masa jabatan kepala kampung berakhir pada 2026, bukan 2025,” tegas salah seorang perwakilan.
Situasi memanas ketika massa melakukan pelemparan ke arah Gedung Putih. Aparat keamanan melepaskan tembakan peringatan dan gas air mata untuk membubarkan kerumunan. Namun, insiden semakin parah setelah seorang oknum aparat yang diduga ajudan Wakil Bupati Jayawijaya mengeluarkan senjata api jenis pistol. Kejadian itu membuat massa kian emosi hingga melakukan pengrusakan lebih luas.
Selain pengrusakan kantor bupati, massa juga membakar ban dan memblokade jalan di kawasan Potikelek, Wamena. Akibatnya, aktivitas masyarakat lumpuh, termasuk perjalanan anak-anak sekolah yang terhambat.
Pemalangan juga dilaporkan terjadi di Kantor Distrik Tagineri, dilakukan oleh tujuh mantan kepala kampung yang menolak keputusan bupati. Hingga berita ini diturunkan, pihak Pemerintah Kabupaten Jayawijaya belum memberikan pernyataan resmi terkait kerusuhan.
Kepolisian setempat pun belum merilis data resmi mengenai jumlah korban maupun kerusakan fasilitas. Namun, aparat gabungan dilaporkan masih berjaga untuk memastikan kondisi Kota Wamena tetap terkendali.
Keputusan mengganti ratusan kepala kampung di Jayawijaya bukan hanya soal administrasi pemerintahan, melainkan menyangkut legitimasi sosial di akar rumput. Kepala kampung memiliki posisi strategis sebagai pemimpin adat sekaligus tokoh masyarakat yang menghubungkan pemerintah dengan warga.
Langkah pergantian serentak dinilai sebagian pihak sebagai kebijakan terburu-buru yang berpotensi menimbulkan resistensi politik. Kekecewaan mantan kepala kampung mudah bertransformasi menjadi aksi massa karena mereka memiliki basis pendukung di wilayah masing-masing.
Dari perspektif keamanan, insiden di Wamena menunjukkan adanya kerentanan sosial yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memperkeruh keadaan. Ketegangan politik lokal kerap dijadikan ruang bermain bagi aktor-aktor dengan kepentingan ekonomi maupun politik yang lebih luas.
Dalam situasi konflik seperti ini, peran media menjadi krusial. Pemberitaan yang berimbang, objektif, dan mengedepankan fakta dapat membantu meredam eskalasi. Jurnalisme damai menjadi pendekatan penting untuk memastikan berita tidak memicu kemarahan publik, melainkan mendorong penyelesaian masalah melalui jalur hukum dan dialog.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait