Kerusuhan Sorong Papua: Pemindahan Tahanan Politik Picu Gejolak, Jurnalis Serukan Jurnalisme Damai

STEVANI GLORIA
Aparat TNI dikerahkan backup Polri amankan kota sorong. TNI kerahkan dua Panser Anoa.

 

KOTA SORONG, iNewssorongraya.id – Kerusuhan di Kota Sorong, Papua Barat Daya, pada akhir Agustus 2025 meninggalkan luka mendalam. Aksi protes menolak pemindahan empat tahanan politik berujung bentrokan dengan aparat, menyebabkan korban luka ringan hingga berat, serta perusakan sejumlah fasilitas pemerintahan.

Aksi massa dipicu penolakan keluarga dan solidaritas masyarakat Papua pembela HAM terhadap pemindahan empat tahanan politik, yakni Abraham Goram Gaman, Nikson May, Piter Robaha, dan Maxi Sangkek dari Sorong ke Makassar untuk menjalani persidangan.

Keluarga menilai pemindahan itu tidak adil dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap aparat hukum. Kepala Kejaksaan Negeri Sorong menyebut kebijakan tersebut didasarkan pada fatwa Mahkamah Agung RI dan pertimbangan keamanan dari Forkopimda. Namun, pihak keluarga menilai Kota Sorong masih aman sehingga pemindahan tidak diperlukan.

Aksi protes yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi anarkis. Massa memblokade ruas jalan utama, menyerang aparat dengan batu, kayu, hingga kembang api. Aparat keamanan dari TNI-Polri dikerahkan untuk membubarkan massa dan merespons dengan gas air mata serta tembakan peringatan.

Kericuhan memuncak ketika video viral memperlihatkan seorang anggota polisi hampir tewas diserang pemuda bersenjata tajam, sebelum akhirnya diselamatkan oleh anggota Marinir TNI AL di sekitar RSAL dr. Oetojo Sorong.

Data Komnas HAM perwakilan Papua mencatat lebih dari 20 warga sipil, termasuk anak-anak, menjadi korban luka. Puluhan orang ditangkap, namun sebagian besar dibebaskan melalui restorative justice dengan mediasi tokoh adat, DPRD, MRP, dan koalisi masyarakat sipil.

Kerusuhan juga menyebabkan seorang tukang ojek terluka parah akibat tertembak saat mencari nafkah. Keluarga menegaskan korban bukan bagian dari massa aksi. Pihak TNI membantah penembakan dilakukan oleh anggotanya dan menyebut korban terkena gas air mata. Namun, hasil medis menunjukkan adanya proyektil peluru di tubuh korban, sehingga memicu polemik baru di masyarakat.

Selain itu, delapan anggota TNI-Polri turut menjadi korban luka dalam kerusuhan tersebut.

Menurut analisa jurnalis televisi nasional Chanry Suripatty, yang lama meliput konflik Papua, kerusuhan ini bukan murni aksi spontan.

“Fakta bahwa anak-anak sekolah ikut dalam aksi menunjukkan adanya pola mobilisasi. Ini mengindikasikan ada aktor yang sengaja memainkan isu pemindahan tahanan politik untuk memperkeruh situasi,” ungkapnya.

Chanry yang juga menjabat sebagai Koordinator Ikatan Jurnalis TV Indonesia [IJTI] Papua Maluku ini menambahkan, aparat seharusnya lebih dini melibatkan tokoh adat, agama, dan masyarakat untuk meredam eskalasi. Kegagalan komunikasi ini, katanya, menjadi celah yang dimanfaatkan pihak tertentu.

Sebagai solusi, Suripatty menekankan pentingnya jurnalisme damai Papua. Media diminta tidak memperkeruh suasana dengan menonjolkan kekerasan, melainkan memberi ruang dialog dan narasi penyelesaian konflik.

“Papua tidak bisa dilihat sepotong-sepotong. Harus ada pendekatan menyeluruh dan berkeadilan. Jurnalisme damai adalah cara meredam konflik agar tidak meluas,” tegasnya.

Ia mendorong agar pemerintah membuka ruang dialog konstruktif sebagaimana diusulkan Jaringan Damai Papua, demi mewujudkan Papua yang benar-benar aman dan sejahtera.

 

Editor : Hanny Wijaya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network