SORONG KOTA, iNewssorongraya.id - Pengakuan seorang perempuan membuka kembali tabir gelap kekerasan seksual dalam rumah tangga yang diduga berlangsung puluhan tahun dan melibatkan relasi kuasa seorang pejabat daerah. Seorang perempuan berinisial VW (35) mengungkapkan bahwa dirinya diduga menjadi korban kekerasan seksual berulang oleh ayah kandungnya sendiri, FW, yang menjabat Asisten I Setda Kabupaten Raja Ampat.
Kesaksian VW yang disampaikan secara terbuka melalui siaran langsung di media sosial itu memicu kecaman luas publik. Dalam pengakuannya, VW menyebut kekerasan seksual dialaminya sejak usia lima tahun dan terus berulang hingga dewasa.
“Ini bukan baru sekali. Ini sejak saya umur lima tahun, kelas satu SD. Sekarang saya umur 35 tahun dan saya masih mengalami ini,” ujar VW sambil menangis.
VW menyampaikan bahwa selama puluhan tahun ia hidup dalam ketakutan, tekanan, dan kontrol psikologis. Ia mengaku tidak pernah memiliki ruang aman, bahkan di dalam rumahnya sendiri. Menurutnya, kekerasan tersebut terjadi meski ibunya masih hidup, dan justru semakin berat setelah sang ibu meninggal dunia.
Ia menyebut dirinya dijadikan “tameng” demi melindungi adik-adiknya dari amarah dan ancaman sang ayah.
“Kalau saya tidak ikut, adik-adik jadi sasaran. Saya yang harus menahan semua ini supaya rumah tidak kacau,” katanya.
Kondisi keluarga, termasuk adik yang mengalami autisme, membuat VW merasa tidak memiliki pilihan selain kembali ke rumah pelaku, meskipun ia telah mencoba hidup terpisah.
“Saya mau tidak mau harus balik ke rumah. Saya tidak bisa tinggalkan dia [adik yang alami autism.red],” tutur VW.
VW menyebut puncak kekerasan terjadi beberapa hari sebelum kesaksiannya disiarkan. Ia mengaku pelaku berada dalam kondisi mabuk berat selama dua hari berturut-turut dan melontarkan ucapan cabul.
“Hari pertama dia keluarkan kata tidak baik. Itu sudah sangat tidak pantas. Saya diam karena takut,” ungkapnya.
Pada hari berikutnya, VW mengaku pelaku masuk ke kamarnya saat ia tertidur.
“Dia masuk dan langsung pegang saya punya tubuh,” katanya.
Saat berusaha melawan, VW justru mengaku diancam menggunakan relasi kekuasaan.
“Dia bilang dia teman Kapolres, teman Wakapolres, teman pejabat. Dia bilang nanti saya yang dilapor ke polisi,” ujar VW.
Ancaman semacam itu, menurut VW, bukan hal baru dan kerap digunakan untuk membungkamnya.
VW mengungkapkan bahwa dirinya telah berulang kali mendatangi Polres Raja Ampat untuk melapor. Namun, ia mengklaim laporannya tidak ditindaklanjuti secara serius.
“Polisi bilang bapak ada kegiatan, sibuk. Kita harus jaga nama baik,” ucapnya.
Ia menyebut pelaku sempat ditahan, namun kembali dibebaskan dengan alasan tugas dinas.
Selain kekerasan seksual, VW juga mengaku mengalami kekerasan fisik.
“Kalau saya tidak layani, saya dipukul pakai kabel, saya disetrum, saya diancam. Ini bukan sekali dua kali,” katanya.
Direktur LBH Kasih Indah Papua, Yance Dasnano, SH, selaku kuasa hukum korban, menegaskan bahwa kasus ini memenuhi unsur kejahatan seksual berat dan tidak boleh ditunda penanganannya.
“Ini kejahatan seksual berat, dilakukan ayah kandung sendiri, sejak korban berumur lima tahun. Ini kriminal murni,” tegas Yance.
Ia menyebut pelaku dapat dijerat Pasal 76D jo Pasal 81 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hingga 15 tahun penjara dan pemberatan sepertiga karena pelaku adalah orang tua kandung.
Selain itu, pelaku juga dapat dikenai UU PKDRT Nomor 23 Tahun 2004 serta sejumlah pasal dalam KUHP, termasuk Pasal 289, 290, dan 294 ayat (1).
“Jabatan tidak menghapus tindak pidana. Justru ancaman menggunakan relasi kekuasaan memperberat kejahatannya,” ujar Yance.
Yance menyatakan bahwa bukti permulaan telah mencukupi, termasuk kesaksian korban, riwayat laporan, dan indikasi kekerasan fisik serta psikis.
“Apa lagi yang ditunggu? Tidak ada alasan hukum menunda penangkapan,” katanya.
Ia menegaskan akan membawa kasus ini ke tingkat lebih tinggi jika tidak ada langkah tegas.
“Kalau hari ini tidak ada tindakan, kami akan lapor ke Polda Papua Barat Daya, Komnas Perempuan, Kompolnas, dan Ombudsman,” ujarnya.
Di akhir kesaksiannya, VW menegaskan satu harapan sederhana: keadilan.
“Saya hanya mau hidup bebas dan hukum bapak saya sesuai undang-undang di negara Indonesia ini,” katanya.
Kasus ini kembali menyoroti kerentanan perempuan terhadap kekerasan seksual dalam lingkup keluarga serta tantangan penegakan hukum ketika pelaku diduga memiliki kekuasaan dan jabatan.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait
