SORONG SELATAN, iNewssorongraya.id – Masyarakat adat Afsya, yang terdiri dari sepuluh sub suku, menggelar ritual sakral Tikar Adat di Kampung Bariat, Distrik Konda, Sorong Selatan, Papua Barat Daya, Sabtu (9/8/2025). Aksi ini menjadi penegasan sikap untuk mempertahankan wilayah adat mereka dari ancaman ekspansi perkebunan kelapa sawit oleh PT Anugerah Sakti Internusa (PT ASI).
Ritual ini bertepatan dengan Hari Masyarakat Adat Internasional, dan menjadi simbol perlawanan terakhir bagi masyarakat Afsya. Dalam hukum adat setempat, Tikar Adat adalah prosesi sakral yang melarang siapapun mengganggu wilayah adat tanpa risiko sanksi adat berat.
Hutan Adat Terancam, PT ASI Belum Kantongi HGU
Wilayah adat Afsya dikenal memiliki kekayaan keanekaragaman hayati, sejarah, dan nilai budaya yang tinggi. Hutan di wilayah ini bukan sekadar ruang hidup, tetapi juga sumber pangan, obat-obatan, dan identitas masyarakat. Kehadiran PT ASI—yang disebut belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU)—dianggap sebagai ancaman serius terhadap kelestarian ekosistem dan keberlangsungan hidup mereka.
Perjuangan mempertahankan tanah adat ini sudah berlangsung sejak 2021. Saat itu, masyarakat mengajukan penetapan 3.111 hektar hutan adat ke Kementerian Kehutanan. Pemerintah kemudian merekomendasikan 1.704 hektar sebagai hutan adat, namun 1.407 hektar sisanya masih tercatat dalam rencana penguasaan lahan PT ASI.
“Kami memperjuangkan penetapan hutan adat sejak 2021. Sudah direkomendasikan pemerintah seluas 1.704 hektar, tapi masih ada 1.407 hektar yang masuk rencana perusahaan,” ujar Kepala Kampung Bariat, Andrianus Kemeray. “Ritual Tikar Adat ini untuk mengembalikan sisa wilayah itu ke suku Afsya. Kami minta presiden dan menteri kehutanan dengan hormat melepaskan tanah adat kami.”
Prosesi Adat: Bambu Tui, Kain Merah, dan Simbol Perlawanan
Ritual dimulai dengan iring-iringan masyarakat menuju hutan adat sambil membunyikan alat musik tradisional kulit bia. Di lokasi, tokoh adat mengubur simbol-simbol adat dan menancapkan Bambu Tui serta kain merah sebagai tanda klaim spiritual dan adat atas tanah tersebut.
Setelah prosesi, masyarakat membacakan pernyataan sikap yang diwakili oleh perempuan adat. Mereka tegas menolak kehadiran PT ASI dan menuntut pengesahan penuh atas seluruh 3.111 hektar hutan adat. “Afsya bukan tanah kosong,” tegas mereka.
Tokoh adat suku Afsya, Marten Kareth, menyatakan, “Tujuan Tikar Adat ini untuk menyelamatkan sisa wilayah kami. Kalau ini dilepas lagi untuk perusahaan, maka kami akan habis. Pemerintah dan perusahaan harus kembalikan tanah kami, kalau tidak, kami akan terus berjuang.”
Harapan Terakhir pada Pemerintah
Ritual Tikar Adat menjadi langkah terakhir perjuangan mereka melalui jalur adat. “Ritual ini sudah cukup untuk terakhir kali. Kami percaya pemerintah akan menghargai hukum adat dan membantu kami,” kata Andrianus.
Masyarakat Afsya kini menunggu keputusan pemerintah, dengan harapan tanah adat mereka terbebas dari ancaman investasi sawit. Bagi mereka, hutan bukan sekadar aset ekonomi, melainkan warisan leluhur yang tak ternilai.
Editor : Chanry Suripatty
Artikel Terkait