Pulau Wayag Dipalang, Masyarakat Kawei Tuntut Keadilan: “Suara Kami Harus Didengar”

SORONG, iNewssorongraya.id – Ikon wisata dunia, Pulau Wayag di Kabupaten Raja Ampat, kini bukan lagi sekadar simbol keindahan. Pulau eksotis dengan laut biru kehijauan itu kini menjadi panggung perlawanan masyarakat adat Suku Kawei yang merasa suaranya tak didengar. Aksi pemalangan kawasan wisata ini merupakan bentuk protes menyusul pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), perusahaan tambang yang disebut memberi manfaat ekonomi bagi warga setempat.
Pantauan langsung tim jurnalis pada Jumat (13/6/2025), sepanjang perjalanan menuju lokasi tambang di Pulau Kawei dan kawasan wisata Wayag, tidak ditemukan tanda-tanda pencemaran laut seperti yang sempat ramai diberitakan. Laut masih jernih, ikan berenang bebas, dan pantai tetap memesona.
Namun, keindahan itu kontras dengan pemandangan yang menyambut di dermaga Pulau Wayag: papan-papan peringatan bertuliskan “Atas Nama Suku Kawei Dilarang Aktivitas Wisata” dan “Stop Berkunjung di Sini” menjadi simbol perlawanan masyarakat adat.
Pemalangan sebagai Bentuk Kekecewaan
Hengky Dimalaow, tokoh masyarakat adat dari Kampung Selpele, menegaskan bahwa tindakan pemalangan ini bukan untuk menolak pariwisata, melainkan sebagai respon atas penyebaran informasi menyesatkan yang menyudutkan masyarakat Kawei.
“Berita hoax bahwa dampak tambang di Pulau Kawei merambah ke Wayag, nyatanya tidak terjadi. Laut bersih, ikan seperti biasa. Tidak ada pencemaran laut di sini,” ujarnya tegas. Hengky juga dikenal sebagai mantan petugas patroli laut saat Wayag masih dikelola oleh Conservation International.
Menurut Hengky, jarak antara Pulau Kawei dan Wayag mencapai 40-50 kilometer dengan arus laut yang deras, sehingga sangat kecil kemungkinan limbah tambang merusak ekosistem Wayag. “Sebagai pemilik hak ulayat, seharusnya kami yang bicara. Bukan orang luar yang menyebar hoax,” katanya.
Masyarakat Tidak Tolak Tambang Maupun Wisata
Pernyataan yang paling menyita perhatian adalah komitmen masyarakat Kawei yang tak menolak aktivitas wisata maupun pertambangan, asalkan kesejahteraan mereka tetap diperhatikan.
“Kami tidak pernah menolak wisata, kami tidak menolak tambang. Semua harus berjalan bersama-sama,” tegas Hengky. Menurutnya, perusahaan tambang justru telah membuka lapangan kerja dan memberi bantuan nyata bagi warga.
Hengky juga menanggapi kekhawatiran soal dampak jangka panjang pertambangan. Ia menyebut selama perusahaan mematuhi regulasi seperti Amdal, tidak ada alasan untuk menolak keberadaannya. “Selagi sesuai aturan, tidak akan ada pencemaran lingkungan,” ucapnya.
Ultimatum dari Masyarakat Kawei
Aksi palang Pulau Wayag merupakan bentuk ultimatum. “Kalau perusahaan tambang tidak dibuka, maka Wayag pun tetap ditutup,” tandas Hengky, yang disambut dukungan warga adat lainnya.
Sebelum rombongan jurnalis meninggalkan Wayag, mereka menyaksikan langsung ekosistem laut yang masih terjaga. Beragam ikan, termasuk hiu, muncul dan berenang bebas di sekitar bibir pantai — menjadi bukti visual bahwa laut Wayag tidak tercemar.
Permintaan Tegas kepada Pemerintah
Masyarakat adat Kawei berharap pemerintah tidak hanya menyerap informasi dari media sosial atau kelompok luar, melainkan benar-benar turun langsung ke lapangan. “Kami minta pemerintah segera klarifikasi dan tindak tegas penyebar hoax yang merugikan kami,” tutup Hengky.
Editor : Hanny Wijaya