Masyarakat Adat Suku Kawei Bangkit, Tolak Kehadiran Greenpeace dan Antek-anteknya

SORONG, iNewssorongraya.id – Suara lantang menggema dari Kampung Selpele, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Masyarakat adat Suku Kawei menegaskan penolakan keras terhadap keberadaan Greenpeace yang dituding mengganggu kedaulatan adat mereka. Spanduk besar bertuliskan “Save Masa Depan Suku Kawei, Tolak Greenpeace dan Antek-anteknya di seluruh hak ulayat Suku Kawei” kini terpasang di Pulau Wayag dan sejumlah titik strategis di Raja Ampat.
Bagi masyarakat Kawei, Greenpeace bukanlah penyelamat lingkungan, melainkan “musuh” yang menghambat akses mereka menuju kesejahteraan melalui tambang nikel yang dikelola oleh PT Kawei Sejahtera Mining (KSM).
“Mereka datang secara diam-diam seperti maling, tanpa permisi kepada kami sebagai pemilik hak ulayat yang sah,” tegas Yustus Ayei, tokoh masyarakat adat Kawei, dalam orasi yang disambut sorak dukungan warga belum lama ini
Gelombang Penolakan yang Menguat
Penolakan Greenpeace sebenarnya bukan baru sekali. Namun kali ini, intensitasnya lebih keras. Masyarakat dari empat marga adat—Daat, Ayelo, Arempele, dan Ayei—bersatu menuding organisasi internasional itu melakukan propaganda “keji” tanpa menghormati tatanan adat.
Tokoh perempuan adat, Dina Ayelo, menyebut tuduhan Greenpeace soal kerusakan konservasi hanyalah fitnah.
“Apa yang dilakukan Greenpeace penuh propaganda. Kami sudah sejahtera dengan apa yang ada sekarang. Greenpeace jangan coba-coba masuk ke tanah ulayat kami,” kata Dina.
Tokoh pemuda adat, Luther Ayelo, bahkan melontarkan kecaman keras terhadap organisasi kampanye lingkungan independen global tersebut. Mereka juga menutup akses ke Pulau Wayag yang merupakan ikon pariwisata Raja Ampat, saat pemerintah pusat menutup operasi tambang.
“Karena perusahaan kami ditutup, maka Pulau Wayag juga kami tutup,” ujarnya Luther saat melakukan penutupan akses wisata Pulau Wayag belum lama ini.
Data dan Fakta dari PT KSM
Sikap keras masyarakat Kawei diperkuat dengan data resmi manajemen PT KSM yang menegaskan keberadaan tambang nikel di Pulau Kawei bukanlah ilegal. Perusahaan mengklaim telah memenuhi seluruh regulasi dan melaksanakan tanggung jawab sosial. Enam poin berikut menjadi dasar klaim mereka:
1. Legalitas Tata Ruang
Pulau Kawei telah ditetapkan sebagai kawasan pertambangan nikel berdasarkan Perda Provinsi Papua Barat Nomor 3 Tahun 2022 tentang RTRW 2022–2041, serta Perda Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2012 tentang RTRW 2011–2030.
2. Izin Lima Kementerian
PT KSM memegang dokumen resmi dari lima kementerian, antara lain:
3. Produksi dan Penjualan
Sejak 2023, perusahaan mencatat produksi nikel sebesar 1.513.413 WMT, dengan penjualan mencapai 1.495.928,13 WMT.
4. Komitmen Lingkungan
Perusahaan mengeklaim telah menerapkan manajemen lingkungan, antara lain:
5. Pemberdayaan Masyarakat
Dampak sosial menjadi senjata utama PT KSM melawan narasi Greenpeace. Data perusahaan menyebutkan:
“Anak-anak kami bisa kuliah karena beasiswa dari perusahaan. Kami bisa berobat tanpa pikir biaya. Jadi, kami tahu siapa yang betul-betul bantu kami,” ujar seorang ibu Kawei penerima manfaat.
6. Penolakan Adat terhadap Greenpeace
Selain data teknis, dukungan masyarakat adat adalah nyata. Spanduk-spanduk penolakan Greenpeace kini terpasang di Pulau Wayag hingga kampung Selpele.
Politik Lingkungan dan Tarik Ulur Izin
Gelombang protes masyarakat adat muncul setelah pemerintah pusat mencabut izin operasional PT KSM. Keputusan itu dinilai mengancam masa depan ratusan keluarga Kawei. Mereka mendesak Kementerian ESDM, KLHK, hingga KKP untuk segera mengembalikan izin tersebut.
“Kami membuat pernyataan ini dengan sebenar-benarnya tanpa paksaan dari pihak manapun,” tegas Yustus.
Gubernur Papua Barat Daya, Elisa, mengaku akan menempuh jalur persuasif. “Saat ini masyarakat masih marah. Karena itu, kami akan masuk dengan pendekatan yang lebih baik,” ujarnya.
Pertarungan Narasi di Jantung Raja Ampat
Konflik Greenpeace vs Suku Kawei di Raja Ampat menunjukkan benturan dua narasi besar. Greenpeace membawa agenda global konservasi lingkungan, sementara masyarakat adat Kawei mengedepankan realitas lokal: kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kemandirian ekonomi.
“Kami tidak butuh orang luar datang ajari kami tentang hutan dan laut. Kami tahu cara jaga tanah kami, tapi kami juga butuh hidup lebih baik,” kata seorang nelayan Kawei.
Greenpeace, Masyarakat Adat dan Dilema Abadi Raja Ampat
Pertarungan ini menyingkap dilema klasik Papua: antara konservasi dan pembangunan. Data PT KSM memperlihatkan upaya legalitas, reklamasi, dan program CSR. Namun, gesekan dengan Greenpeace memperlihatkan bahwa isu lingkungan di Raja Ampat tidak bisa dipisahkan dari politik identitas, kedaulatan adat, dan hak masyarakat atas tanah ulayatnya.
Editor : Hanny Wijaya