SORONG, iNewssorongaya.id – Polemik kepemilikan aset pendidikan Moria di Kota Sorong, Papua Barat Daya, memasuki babak baru. Yayasan Bukit Tabor resmi melaporkan Yayasan Pisga ke Polresta Sorong Kota atas dugaan penguasaan aset tanpa hak yang dinilai melampaui putusan eksekusi Pengadilan Negeri Sorong.
Laporan pidana itu dibuat melalui kuasa hukum Kantor Hukum Jatir Yuda Marau dan Rekan pada 21 Agustus 2025. Ketua Yayasan Bukit Tabor, Hezkia Yosua Blessia, menilai karya pendidikan yang dibangun pihaknya selama puluhan tahun telah dikuasai secara tidak sah.
“Kami tentu sangat dirugikan. Bangunan yang kami bangun telah dikuasai pihak lain tanpa hak,” kata Hezkia saat konferensi pers bersama kuasa hukum dan pengurus yayasan, Rabu (1/10/2025).
Kuasa hukum Yayasan Bukit Tabor, Jatir Yuda Marau, menjelaskan persoalan bermula dari eksekusi yang dilaksanakan PN Sorong berdasarkan Berita Acara Eksekusi Nomor 11/Pdt.Eks/2021/PN Son, Senin, 29 April 2024. Eksekusi itu merujuk pada Putusan PN Sorong Nomor 50/Pdt.G/1998/PN Srg jo. Putusan Nomor 30/Pdt/2000/PT IRJA jo. Putusan Nomor 1323 K/Pdt/2002 jo. Nomor 267 PK/Pdt/2007.
Namun, menurut Yuda, amar eksekusi tersebut ditafsirkan keliru. “Perintah eksekusi dipakai sebagai dasar untuk mengambil alih aset pendidikan yang bukan objek sengketa. Itu bentuk penyerobotan dan perbuatan pidana,” ujarnya.
Yuda menambahkan, meski menghormati putusan pengadilan, pihaknya menegaskan aset pendidikan Moria—TK, SD, SMP, hingga SMA—tidak pernah masuk dalam objek eksekusi. Yayasan Bukit Tabor bahkan memiliki hak paten atas nama YPPKK Moria serta sertifikat hak atas tanah yang sah bekerja sama dengan Gereja Kristus Gembala.
“Ada tiga bidang tanah yang sudah bersertifikat dan sah menurut hukum. Eksekusi PN Sorong tidak pernah menyatakan batal atas sertifikat-sertifikat itu,” kata Yuda.
Sebelum melapor ke polisi, Yayasan Bukit Tabor mengaku telah melayangkan tiga kali somasi kepada pihak Yayasan Pisga. Namun, upaya persuasif itu tidak direspons.
“Karena tidak ada itikad baik, kami memilih langkah hukum. Laporan pidana adalah opsi terakhir untuk menyelamatkan satuan pendidikan Moria,” ujar Yuda.
Ia juga menegaskan Yayasan Pisga tidak memiliki hak menggunakan nama maupun logo YPPKK Moria. “Penguasaan aset pendidikan Moria merupakan tindakan melawan hukum. Apalagi masyarakat tahu, sekolah Moria dibangun dan dikelola Yayasan Bukit Tabor sejak 1986,” katanya.
Sekolah Moria dikenal luas di Sorong Raya sebagai salah satu sekolah favorit yang melahirkan banyak lulusan. Sebelum sengketa, jumlah murid tercatat 65 anak di TK, 372 murid SD, 208 siswa SMP, dan 65 siswa SMA.
Hezkia menambahkan, kini identitas sekolah pun berubah. “TK, SD, SMP, dan SMA YPPKK Moria sudah berganti merek menjadi YPKP Moria. Inilah yang perlu masyarakat ketahui,” ujarnya.
Persoalan ini berakar dari eksekusi yang diajukan Gereja Bethel Gereja Pantekosta (GBGP) terhadap Gereja Kristus Gembala. Namun, menurut Yuda, ada putusan lain yang berkekuatan hukum tetap, yakni Putusan PN Sorong Nomor 44/Pdt.G/2022/PN Son, yang memperkuat kepemilikan Gereja Kristus Gembala atas tanah sengketa berdasarkan surat perdamaian 24 Februari 2009.
Yuda menegaskan, saat perkara 1998 bergulir, tanah yang disengketakan masih berupa lahan kosong. “Bangunan sekolah Moria baru berdiri setelah itu, dibangun dengan dana hibah anggota DPR Papua Barat. Jadi objek gereja dan sekolah berbeda,” jelasnya.
Kasus ini kini ditangani Polresta Sorong Kota. Pihak Yayasan Bukit Tabor meminta penegak hukum mengusut dugaan penguasaan aset tanpa hak yang dilakukan Yayasan Pisga.
Meski demikian, proses hukum masih berjalan dan asas praduga tak bersalah tetap berlaku bagi pihak terlapor. Sengketa berkepanjangan ini menunjukkan betapa peliknya tarik-menarik kepemilikan aset pendidikan dan keagamaan di Sorong Raya.
Editor : Chanry Suripatty
Artikel Terkait