Kuasa Hukum Desak Polisi Segera Tahan Pelaku Dugaan Rudapaksa Anak di Kota Sorong
SORONG KOTA, iNewssorongraya.id — Penanganan kasus dugaan rudapaksa terhadap seorang anak perempuan berusia 11 tahun di Kota Sorong kembali menjadi sorotan setelah kuasa hukum korban menyatakan proses hukum belum memberikan rasa keadilan yang layak bagi korban.
Korban, sebut saja Mawar [nama samara] yang duduk di kelas V di sebuah sekolah dasar swasta di Kota Sorong. Ia diduga mengalami kekerasan seksual sejak 2023 oleh ayah angkatnya, A (59). Meski laporan telah ditangani Unit PPA Satreskrim Polresta Sorong Kota, keluarga korban menyebut pelaku hingga kini belum ditahan.
Kuasa hukum, Agustinus Jehamin, SH menyayangkan lambatnya proses penahanan dalam kasus dengan ancaman pidana berat tersebut.
“Kami mempertanyakan kenapa belum adanya penahanan terhadap tersangka. Mereka beralasan bahwa pelaku masih bersikap kooperatif dan rutin melapor sekitar tiga kali dalam seminggu,” ujar Agustinus, Sabtu (15/11/2025).
Menurutnya, kewaspadaan aparat seharusnya lebih tinggi mengingat korban masih mengalami trauma berat setelah sempat melihat pelaku berkeliaran bebas di sekitar Kota Sorong.
Agustinus juga mengungkapkan keprihatinan atas proses wawancara terhadap korban oleh pihak kejaksaan. Ia menilai ada pertanyaan yang tidak sesuai standar pemeriksaan ramah anak.
Ia menjelaskan bahwa pendamping hukum sebelumnya diminta keluar ruangan saat pemeriksaan. Setelah wawancara selesai, korban menceritakan pertanyaan yang diterimanya dari jaksa.
“Korban mengatakan jaksa bertanya, ‘Kalau tersangka masuk penjara, kamu tidak kasihan kepada bapakmu? Tidak ada yang biayai kamu.’ Kami menilai pertanyaan seperti ini tidak mencerminkan keberpihakan pada korban, padahal jaksa mewakili negara dan berkewajiban melindungi anak korban,” sesalnya.
Agustinus membeberkan bahwa tindakan tidak pantas pertama kali dialami korban ketika masih duduk di kelas III SD pada usia 9 tahun. Pada 2024, tindakan tersebut berkembang menjadi dugaan pencabulan hingga rudapaksa.
Korban akhirnya memberanikan diri bercerita kepada teman-temannya. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada guru-guru di sekolah yang langsung melaporkannya ke UPTD PPA Polresta Sorong Kota pada awal 2025.
Secara psikologis, korban disebut mengalami trauma, merasa tidak nyaman di lingkungan rumah, dan belum mendapat dukungan memadai dari keluarga angkatnya.
Pendamping hukum berharap pelimpahan tahap dua dari kepolisian ke kejaksaan dapat segera dilakukan agar perkara ini masuk ke persidangan.
“Kami ingin korban mendapatkan perlindungan dan keadilan. Sampai saat ini korban masih trauma dan kondisi mental terganggu karena pelaku belum ditahan,” tegas Agustinus.
Ia menekankan bahwa kehadiran negara melalui aparat penegak hukum sangat penting untuk memastikan anak korban kekerasan memperoleh perlindungan penuh sesuai undang-undang.
Editor : Hanny Wijaya