Rasisme terhadap Yakob Sayuri: Luka Sosial yang Terus Menganga di Sepak Bola Indonesia

CHANRY SURIPATTY
Pemain Timnas Indonesia, Yakob Sayuri mendapat serangan rasisme usai laga Timnas melawan Arab Saudi. [FOTO : IST]

 

SORONG KOTA, iNewssorongraya.id — Kasus dugaan rasisme kembali mencoreng wajah sepak bola nasional. Pemain Timnas Indonesia asal Papua, Yakob Sayuri, menjadi korban ujaran rasis di media sosial usai pertandingan kualifikasi Piala Dunia melawan Arab Saudi di Stadion King Abdullah Sport City, Jeddah, Kamis (9/10/2025) dini hari WIB.

Komentar bernada hinaan yang menyerang akun pribadi Yakob di Instagram langsung memicu gelombang protes publik. Ribuan warganet mengecam tindakan itu, menilai bahwa serangan rasis bukan sekadar bentuk pelecehan verbal, tetapi juga kekerasan terhadap identitas dan martabat manusia.

“Rasisme bukan sekadar hinaan, melainkan kekerasan terhadap identitas seseorang,” tulis salah satu pengguna media sosial dalam unggahan protesnya.

Bukan kali pertama Yakob menjadi sasaran ujaran rasis. Aksi serupa pernah terjadi ketika Malut United mengalahkan Persib Bandung dalam lanjutan Liga 1 2024/2025 di Stadion Gelora Kie Raha, Ternate, pada Jumat (2/5/2025).
Pasca laga itu, komentar bernada rasis kembali menyeruak di lini masa media sosial, bahkan turut menyeret nama Yance Sayuri, saudara kembarnya, yang tak bermain dalam laga tersebut.

Kasus ini akhirnya dilaporkan ke Polda Maluku Utara oleh sejumlah pihak yang menilai penghinaan berbasis ras tersebut sebagai tindakan kriminal dan pelanggaran hak asasi manusia.

Mantan pemain Timnas Indonesia Nelson Alom menyesalkan tindakan tersebut.

“Miris sekali saya melihat komentar-komentar negatif bahkan rasis untuk adik Yakob Sayuri. Ini bukti bahwa SDM kita masih sangat rendah. Yance yang tidak main pun ikut jadi sasaran,” tulis Nelson di akun media sosialnya.

Nelson juga mengingatkan bahwa kontribusi pemain asal Papua dalam sepak bola nasional tidak bisa diabaikan. “Timnas Indonesia bisa melangkah sejauh ini juga karena kontribusinya. Bagaimana negara mau maju kalau warganya masih berpikiran sempit?” tambahnya.

Salah satu warganet bernama Lukas Doo turut memprotes keras tindakan tersebut.

“Pemain-pemain asli Papua baik di klub Jawa maupun Timnas selalu jadi korban rasisme. Seolah pemain lain sempurna. Ini jadi catatan bagi pemain Papua agar berhati-hati, karena uang penting, tapi harga diri jauh lebih penting,” tulisnya.

Kemarahan publik terhadap kasus Yakob mencerminkan kelelahan sosial terhadap praktik diskriminatif yang seolah tidak pernah benar-benar hilang dari ruang publik Indonesia.

Rasisme di Indonesia bukanlah cerita baru. Tindakan serupa pernah memicu kerusuhan di Distrik Elelim, Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan, pada Oktober 2025.
Bahkan pada 2019, ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menjadi pemicu gelombang demonstrasi besar-besaran di berbagai wilayah Papua dan Papua Barat.

Fakta ini menunjukkan bahwa rasisme masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa ini.
Meski Indonesia menjunjung semboyan Bhinneka Tunggal Ika, praktik diskriminatif masih sering muncul—baik di lapangan sepak bola, ruang publik, maupun media sosial.

Pakar hukum dan aktivis toleransi menilai bahwa kurangnya ketegasan hukum menjadi penyebab utama rasisme berulang. Banyak pelaku hanya mendapat teguran moral tanpa sanksi hukum, sementara korban harus menanggung luka psikologis jangka panjang.

Negara seharusnya hadir tidak hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai pelindung martabat seluruh warga. Penegakan hukum terhadap pelaku rasisme bukan sekadar tindakan legal, tetapi bukti bahwa Indonesia adalah negara beradab yang menghargai kemanusiaan.

Selain itu, edukasi publik menjadi kunci. Pendidikan karakter dan toleransi perlu diperkuat sejak dini—baik di sekolah, keluarga, maupun ruang digital.
Hanya dengan kesadaran kolektif, masyarakat dapat memandang perbedaan sebagai kekuatan, bukan ancaman.

Indonesia dibangun di atas keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke, warna-warni budaya menjadi identitas yang memperkaya bangsa. Dari Tanah Papua, lahir banyak atlet berbakat seperti Yakob Sayuri yang membuktikan bahwa talenta tidak mengenal ras, warna kulit, atau asal daerah.

“Tidak ada bangsa besar yang tumbuh dari kebencian terhadap bangsanya sendiri,” tulis salah satu komentar populer yang kini viral di media sosial.

Melawan rasisme bukan hanya tugas pemerintah, melainkan kewajiban moral setiap warga negara. Sebab, rasisme bukan identitas bangsa Indonesia — toleransi dan kemanusiaanlah yang seharusnya menjadi wajah sejati negeri ini.

 

 

Editor : Hanny Wijaya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network