SORONG KOTA, iNewssorongraya.id — Polemik pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Ayamaru Tahap II kembali memanas. Para pemilik ulayat menuding negara lalai menghormati hak komunal mereka setelah Kuasa Hukum Urbanus Mamu, SH., MH & Partners resmi melayangkan somasi terhadap 16 pihak, mulai dari kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah, hingga sejumlah marga yang disebut terlibat dalam proses pendataan ganti rugi.
Somasi itu menegaskan bahwa pembangunan bendungan berdiri di atas tanah ulayat yang belum diselesaikan ganti ruginya sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Urbanus Mamu, yang bertindak atas surat kuasa khusus tertanggal 4 Desember 2025, menegaskan bahwa lokasi Bendungan Ayamaru—baik tahap pertama maupun tahap kedua—adalah tanah komunal yang dikuasai secara turun-temurun oleh marga IJIE FAN ATTA, IJIE FAN SRIR, dan IJIE FAN AYA.
“Tanah ini milik marga IJIE FAN ATTA, IJIE FAN SRIR dan IJIE FAN AYA. Kepemilikan ini tidak dapat dialihkan tanpa persetujuan seluruh pemilik ulayat,” kata Urbanus kepada media, Minggu, 7 Desember 2025.
Ia menyebut sebagian warga yang selama ini tercatat dalam pendataan bukan pemilik ulayat, melainkan menempati wilayah tersebut karena hubungan perkawinan, keponakan (Kube), atau kekerabatan (Raa Waarok). Karena itu, ia menegaskan bahwa pendataan ulang wajib dilakukan untuk mencegah kesalahan penerima kompensasi.
Urbanus menegaskan, para pemilik ulayat tidak menolak proyek strategis tersebut. Namun mereka menilai pemerintah mengabaikan hak mereka karena tidak pernah dilibatkan sejak awal proses ganti rugi.
“Klien kami mendukung pembangunan bendungan, tetapi hak mereka harus dihormati,” ujar Urbanus.
Pihaknya menuntut dua bentuk kompensasi sebagaimana diatur dalam PP Nomor 39 Tahun 2023 tentang Penyelesaian Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yakni:
- Ganti rugi tanah yang dipakai dalam pembangunan.
- Ganti rugi atas seluruh dampak proyek terhadap masyarakat hukum adat.
Dalam somasi tersebut, Urbanus memberikan batas waktu 3 x 24 jam kepada seluruh pihak untuk memberikan jawaban resmi. Jika tidak ada respons, ia memastikan akan menempuh langkah hukum lanjutan, termasuk membuat laporan polisi.
Somasi itu ditujukan kepada 16 pihak, antara lain Menteri PUPR, BPK, KPK, Kejaksaan Agung, Kapolda Papua Barat Daya, Gubernur Papua Barat Daya, MRP, DPR Papua Barat Daya, Bupati Maybrat, hingga sejumlah marga Mosso, Way, Jitmau, Nakoh, dan Kambu.
Selain somasi, kuasa hukum juga meminta perlindungan hukum kepada Kapolda Papua Barat Daya untuk mengantisipasi potensi konflik antarwarga dalam proses verifikasi ulang penerima ganti rugi.
“Proses ganti rugi tahap II berjalan tanpa melibatkan klien kami, padahal mereka pemilik sah wilayah tersebut. Kami berharap Kapolda dapat turun tangan memastikan semua sesuai aturan,” ucap Urbanus.
Ia menilai pelibatan aparat diperlukan untuk menjamin proses penyelesaian sengketa berjalan transparan, adil, dan bebas intervensi kelompok tertentu.
Bendungan Ayamaru merupakan salah satu proyek strategis yang didorong pemerintah pusat untuk menopang ketahanan air dan energi di wilayah Papua Barat Daya. Namun persoalan tanah ulayat berulang kali menjadi hambatan, terutama pada fase lanjutan pembangunan yang kini memasuki tahap II.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak-pihak yang disomasi.
Editor : Chanry Suripatty
Artikel Terkait
