WAISAI, iNewssorongraya.id – Gelombang penolakan masyarakat adat terhadap ekspansi pertambangan nikel di Pulau Batan Pelei, Kampung Manyaifuin, Distrik Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat semakin menguat. Masyarakat Adat Suku Kawei sebagai pemilik hak ulayat dengan tegas menolak kehadiran PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP) yang telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) seluas 2.194 hektare. Mereka menganggap aktivitas tambang ini sebagai ancaman serius terhadap ekosistem, pariwisata, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Pesona gugusan kepulauan pulau Batan Pelei, Raja Ampat. [FOTO " Courtesy : pasir Pantai.com]
Penolakan yang semakin masif ini ditandai dengan pemasangan baliho besar di Kampung Manyaifuin pada Rabu (12/3/2025), sebagai bentuk perlawanan terhadap eksploitasi sumber daya alam di wilayah yang menjadi jantung pariwisata Raja Ampat. Tak hanya dari masyarakat adat, dukungan juga mengalir dari berbagai organisasi lingkungan dan kelompok pemerhati konservasi yang mendesak pemerintah segera mencabut izin operasi tambang tersebut.
Masyarakat adat Suku Kawei menolak dengan keras operasi tambang Nikel di kawasan Pulau Batan Pelei. [FOTO : IST]
Menurut salah satu warga pemilik ulayat, keberadaan tambang di wilayah ini akan berdampak buruk bagi keberlanjutan lingkungan dan perekonomian masyarakat. “Jika tambang ini dipaksa beroperasi, kerusakan hutan, ancaman terhadap pemukiman, serta kehancuran sektor pariwisata akan menjadi konsekuensi nyata,” ujar warga setempat dengan nada penuh kekhawatiran.
Keindahaan Biota Laut di kawasan Pulau Batan Pelei. [FOTO : Courtesy : pasir Pantai.com]
Kawasan Manyaifuin yang terkenal dengan perairan dangkalnya menjadi rumah bagi ekosistem terumbu karang yang sangat sensitif. Jika pertambangan tetap dilakukan, dikhawatirkan akan terjadi pencemaran yang berakibat fatal terhadap ekosistem laut serta mengancam keberlanjutan Pulau Piaynemo—ikon wisata dunia yang menjadi kebanggaan Indonesia.
Keindahaan Biota Laut di kawasan Pulau Batan Pelei. [FOTO : Courtesy : pasir Pantai.com]
Masyarakat adat bersama aktivis lingkungan menegaskan bahwa pertambangan di wilayah ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik sosial. Warga yang selama ini menggantungkan hidup dari sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata akan kehilangan mata pencaharian mereka.
Masyarakat menuntut agar pemerintah pusat dan daerah segera mengambil sikap tegas terhadap rencana pertambangan ini. Mereka mendesak adanya evaluasi mendalam terhadap izin pertambangan yang telah dikeluarkan serta mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan. “Jangan sampai kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat ini menjadi awal dari kehancuran Raja Ampat sebagai destinasi wisata kelas dunia,” tegas salah satu tokoh adat setempat.
Keindahaan Biota Laut di kawasan Pulau Batan Pelei. [FOTO : Courtesy : pasir Pantai.com]
Gelombang perlawanan ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak mengabaikan suara masyarakat adat. Penolakan terhadap tambang di Pulau Batan Pele, Kampung Manyaifuin bukan hanya sekadar isu lokal, tetapi juga menjadi peringatan bagi kelestarian salah satu ekosistem laut terbaik di dunia. Akankah suara rakyat didengar? Ataukah kepentingan industri tambang akan tetap berjalan tanpa memperhitungkan masa depan lingkungan dan generasi mendatang?
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait