Suara Pemilik Hak Ulayat: Harapan Masyarakat Adat Suku Kawei dari Tambang Nikel

KAWEI, iNewssorongraya.id – Ketika sebagian besar dunia menyuarakan kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan akibat tambang, suara berbeda justru datang dari Pulau Kawei, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Empat marga besar pemilik hak ulayat dari Suku Kawei—Arampele, Ayelo, Daat, dan Ayei—menolak pencabutan izin tambang nikel milik PT Kawei Sejahtera Mining (KSM). Bagi mereka, tambang bukan ancaman, melainkan pintu keluar dari kemiskinan.
“Anak-anak kami bisa sekolah, dapur kami berasap. Dulu kami hidup dari laut dan hutan, tapi itu tidak cukup untuk masa depan. Tambang membantu kami bangkit,” ujar Martince Daat, perwakilan masyarakat adat Kawei.
Sejak Agustus 2023, PT KSM mulai beroperasi dengan komitmen terhadap pengelolaan tambang berkelanjutan, membayar pajak daerah, serta memprioritaskan tenaga kerja lokal. Saat ini, lebih dari 70% pekerja tambang berasal dari masyarakat asli Papua. Perusahaan juga telah membangun infrastruktur dasar seperti jalan dan fasilitas pendidikan di wilayah tersebut.
Ketika Tambang Menjadi Bagian Identitas Lokal
Tambang nikel di Pulau Kawei telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat. Bukan hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sebagai simbol pengakuan terhadap hak ulayat mereka yang selama ini terpinggirkan.
“Kami yang tahu isi perut pulau ini. Kami yang merasakan perubahannya. Kami tidak mau alam rusak, tapi kami juga tidak ingin kembali ke kemiskinan,” tegas Hengky Dimalau, masyarakat Kawei.
Namun, polemik mencuat usai izin usaha pertambangan PT KSM dicabut oleh pemerintah. Keputusan ini dianggap tak berpihak pada aspirasi lokal, dan lebih mengikuti tekanan kampanye lingkungan yang menyoroti potensi kerusakan alam.
Greenpeace Indonesia sebelumnya merilis video berdurasi 24 menit yang menampilkan kekhawatiran terhadap dampak ekologis pertambangan. Narasi itu dengan cepat viral di media sosial dan memicu gelombang kritik terhadap operasi tambang di Raja Ampat.
Narasi Lingkungan yang Tak Mewakili Suara Asli
Meski narasi pelestarian lingkungan penting, masyarakat Kawei menilai tidak semua tudingan itu mencerminkan realitas di lapangan. Mereka bahkan menuding adanya kampanye sepihak yang tidak pernah melibatkan suara pemilik hak ulayat secara langsung.
“Kami bukan boneka investor. Kami bukan musuh lingkungan. Kami hanya ingin hidup layak, dari tanah sendiri,” ucap salah satu masyarakat adat setempat dalam sebuah aksi damai.
Sebagai bentuk protes atas pencabutan izin tambang, masyarakat adat menutup akses wisata ke Pulau Wayag—ikon pariwisata Raja Ampat yang terkenal dunia. Langkah ini bukan sekadar gertakan, tetapi simbol bahwa mereka juga memiliki kuasa atas tanah dan laut mereka sendiri.
“Kalau suara kami tak didengar, kami juga bisa menutup surga ini dari wisatawan. Kami bukan penonton di tanah sendiri,” kata Yustinus Daat, warga adat Pulau Kawei.
Seruan Keadilan dan Kedaulatan Informasi
Ketua Adat Selpelei, Korinus Ayello, menegaskan bahwa aksi masyarakat adat bukan bentuk perlawanan terhadap negara, melainkan panggilan untuk didengar. “Wayag tidak akan kami buka sampai pemerintah menjawab tuntutan kami. Tambang ini milik anak negeri. Kami hanya minta keadilan,” tegasnya.
Kisah dari Pulau Kawei menyoroti pentingnya keseimbangan antara perlindungan lingkungan, kedaulatan informasi, dan hak masyarakat adat atas masa depan. Pemerintah dituntut hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pendengar yang adil bagi suara pemilik hak ulayat.
Editor : Hanny Wijaya