SORONG, iNewssorongraya.id – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Perwakilan Papua merilis hasil pemantauan mendalam terkait aksi unjuk rasa penolakan pemindahan empat tahanan kasus makar dari Kota Sorong ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar yang berujung ricuh di Sorong dan Manokwari, Papua Barat Daya. Laporan resmi ini menyoroti dugaan kuat adanya tekanan politik, penggunaan kekuatan berlebih aparat keamanan, hingga pelanggaran hak atas keadilan.
Empat tahanan, yakni Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai, awalnya ditangkap pada April 2025 setelah mengantar surat permintaan perundingan damai ke sejumlah kantor pemerintahan. Komnas HAM menilai proses penetapan mereka sebagai tersangka sarat tekanan politik, bukan murni penegakan hukum.
“Penegakan hukum dalam kasus makar di Papua semestinya mempertimbangkan akar persoalan, bukan hanya menyelesaikan gejala di permukaan,” tegas Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits B. Ramandey di Jayapura, Selasa [16/9/2025].
Pemindahan persidangan ke PN Makassar, yang diputuskan lewat rapat Forkopimda Kota Sorong tanpa melibatkan keluarga maupun kuasa hukum, memicu gelombang kemarahan. Solidaritas masyarakat Papua Pro Demokrasi menilai langkah tersebut sebagai bentuk ketertutupan aparat.
Kemarahan warga kemudian meluas menjadi aksi protes di Sorong, Manokwari, hingga Jayapura dan Wamena. Namun, unjuk rasa yang semula damai berubah anarkis dengan pemblokiran jalan, pelemparan batu, hingga pembakaran fasilitas publik.
Komnas HAM menemukan indikasi kuat excessive use of force dalam penanganan massa oleh aparat gabungan Polri, TNI, dan Brimob. Selain penggunaan gas air mata, peluru karet, serta kekerasan fisik terhadap demonstran, terdapat dugaan kuat penggunaan peluru tajam yang menembus tubuh Mikhael Welerubun, menyebabkan cacat permanen dan mengancam keselamatan jiwanya.
Benda asing menyerupai serpihan peluru tajam berhasil diangkat dari tubuh korban oleh tim medis RSUD Sele Be Solu dan telah diserahkan ke pihak kepolisian untuk penyelidikan
Di Manokwari, aksi protes atas penahanan Yance Manggaprouw juga berujung bentrok. Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Septhinus Andreas Ariel Sesa, seorang warga, dilaporkan meninggal dunia setelah mengalami sesak napas akibat terpapar gas air mata.
Meski Kapolda Papua Barat telah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF), keluarga menolak autopsi jenazah. Komnas HAM menegaskan, penyebab kematian Sesa tetap harus diungkap secara ilmiah untuk menghindari spekulasi liar.
Komnas HAM mengidentifikasi empat bentuk pelanggaran HAM dalam rangkaian aksi di Sorong dan Manokwari:
- Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
- Hak hidup.
- Hak atas rasa aman.
- Hak memperoleh keadilan
“Demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara. Namun, cara penanganan aparat harus sesuai prinsip HAM, bukan dengan tindakan represif,” tegas Ramandey.
Dalam keterangannya, Komnas HAM RI Perwakilan Papua merekomendasikan langkah-langkah strategis kepada berbagai pihak, antara lain:
- Menkopolhukam diminta mengedepankan dialog politik, bukan kriminalisasi, dalam menyelesaikan isu Papua.
- Kapolri diminta mengawasi penyelidikan kasus penembakan Mikhael Welerubun serta memastikan proses hukum yang transparan.
- Kejaksaan Agung diminta tidak mudah memindahkan lokasi persidangan tahanan makar demi menjamin akses keadilan keluarga terdakwa.
- TNI dan Polri diminta menyelidiki dugaan penggunaan peluru tajam serta memberi sanksi tegas bila terbukti terjadi pelanggaran.
- Gubernur Papua Barat Daya diingatkan agar menjamin keamanan dan hak keluarga terdakwa, serta melibatkan Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRPBD) dalam pengambilan keputusan terkait isu politik lokal
Kasus pemindahan empat tahanan makar yang memicu gelombang protes di Sorong dan Manokwari kini menjadi sorotan nasional. Laporan Komnas HAM menegaskan bahwa cara aparat menangani massa justru memperbesar ketegangan dan berpotensi melanggar HAM.
“Papua membutuhkan jalan damai, bukan penindasan. Penegakan hukum harus transparan, adil, dan menghormati martabat manusia,” pungkas Frits Ramandey.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait