Sengketa Tiga Pulau: Api Konflik Maluku Utara vs Papua Barat Daya Mulai Menyala

GEBE, iNewssorongraya.id – Aksi ratusan warga Desa Umyal, Kecamatan Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, yang membakar lima rumah bantuan milik Pemkab Raja Ampat di Pulau Sain, Sabtu (20/9/2025), bukan sekadar tindakan spontan. Insiden ini adalah potret nyata bagaimana konflik batas wilayah antara Maluku Utara dan Papua Barat Daya terus membara, mengakar dalam persoalan identitas, sejarah, dan kepentingan ekonomi.
Akar Masalah Sengketa
Pulau Sain (Sayang), Piyai, dan Kiyas telah lama menjadi titik sengketa dua provinsi bertetangga. Pada 2021, Kementerian Dalam Negeri menetapkan tiga pulau tersebut sebagai bagian administratif Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara. Namun, Pemkab Raja Ampat dan Pemprov Papua Barat Daya menolak keputusan itu, mengklaim ketiga pulau adalah warisan leluhur mereka.
Sengketa ini makin rumit karena beririsan dengan klaim hak ulayat masyarakat adat. Masyarakat Desa Umyal menegaskan bahwa pulau-pulau tersebut adalah tanah warisan turun-temurun mereka. Sebaliknya, kelompok masyarakat adat di Raja Ampat melalui Forum Lintas Suku OAP Papua Barat Daya menuntut pengembalian pulau ke wilayah Raja Ampat.
Kepentingan Ekonomi dan Sumber Daya Alam
Pulau-pulau sengketa ini bukan tanah tak bertuan. Di baliknya tersimpan kekayaan besar: perikanan, potensi pariwisata, hingga sumber daya alam mineral seperti emas dan nikel. Nilai strategis inilah yang membuat konflik tak mudah diredam. Bagi pemerintah daerah, kepemilikan pulau berarti pendapatan asli daerah dan daya tawar politik. Bagi masyarakat adat, pulau adalah identitas, harga diri, sekaligus sumber kehidupan.
Eskalasi Konflik
Pembakaran rumah bantuan menjadi titik eskalasi baru. Pernyataan keras Ketua BPD Umyal memperlihatkan bagaimana masyarakat siap bertaruh nyawa demi mempertahankan hak ulayat mereka.
“Tiga pulau itu sah milik masyarakat Desa Umyal, Halmahera Tengah, dan bagian dari Provinsi Maluku Utara. Kami akan mempertahankannya apa pun risikonya,” ujarnya lantang.
Jika konflik ini terus dibiarkan, potensi gesekan horizontal antarwarga di lapangan kian besar. Sengketa ini bisa melebar menjadi konflik antar-etnis atau antar-komunitas adat, yang berujung pada instabilitas regional.
Jalan Tengah atau Api Berkepanjangan?
Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ATR/BPN, harus segera turun tangan. Penyelesaian peta batas wilayah laut yang tumpang tindih menjadi langkah krusial. Namun, pendekatan hukum dan administratif saja tidak cukup. Dibutuhkan pendekatan kultural, dengan melibatkan tokoh adat, pemuka agama, dan akademisi dari kedua provinsi.
Dialog yang mengedepankan rekonsiliasi dan penghormatan hak ulayat masyarakat adat harus diprioritaskan. Tanpa itu, keputusan pemerintah hanya akan dianggap sepihak dan memicu gelombang protes lanjutan.
Kasus pembakaran rumah bantuan di Pulau Sain hanyalah puncak dari gunung es. Sengketa tiga pulau memperlihatkan betapa rapuhnya tata kelola perbatasan di Indonesia, terutama ketika menyangkut hak ulayat masyarakat adat dan kepentingan ekonomi besar.
Pertanyaan besarnya kini: apakah negara hadir sebagai penengah yang adil, atau membiarkan api kecil ini berubah menjadi kebakaran besar di perbatasan Maluku Utara dan Papua Barat Daya?
Editor : Hanny Wijaya