Pernyataan Sikap Tegas IJTI Sultra: Kepala Bandara Haluoleo Diduga Langgar UU Pers, Terancam Pidana

KENDARI, iNewssorongraya.id – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara mengecam keras tindakan Kepala Bandara Haluoleo Kendari, Denny Arianto, beserta petugasnya yang memaksa jurnalis Antara, La Ode Muh Deden Saputra, menghapus video dan foto hasil liputan. Aksi ini dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers dan berpotensi dijerat pidana sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Insiden terjadi pada Jumat (8/8/2025) sekitar pukul 06.20 WITA saat Deden meliput keberangkatan rombongan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membawa empat tersangka operasi tangkap tangan (OTT) Kolaka Timur di area check-in Bandara Haluoleo.
Awalnya, Deden sempat ditegur oleh seseorang berseragam rompi merah yang belakangan diketahui adalah Kepala Bandara. Meski begitu, ia tetap melanjutkan pengambilan gambar karena sedang menjalankan tugas jurnalistik. Tidak lama kemudian, beberapa petugas bandara yang diperintahkan langsung oleh Denny Arianto mendatanginya.
“Petugas memaksa saya membuka ponsel, lalu menghapus video di bawah tekanan, disaksikan banyak orang. Setelah itu, ponsel diperiksa ulang untuk memastikan rekaman benar-benar terhapus,” ungkap Deden.
Menurut keterangan Deden, tindakan ini dilakukan atas permintaan KPK agar tidak ada foto atau video keberangkatan mereka bersama tersangka OTT.
IJTI Sultra: Area Publik, Larangan Tidak Sah
IJTI Sultra menegaskan, area check-in bandara merupakan wilayah publik yang dapat diakses oleh siapa saja, termasuk jurnalis yang melaksanakan peliputan.
“Tidak ada pihak yang berhak melarang, membatasi, apalagi menghapus materi dokumentasi jurnalis yang sedang bertugas,” tegas Ketua IJTI Sultra, Saharuddin.
Pasal 4 UU Pers dengan jelas menjamin kemerdekaan pers, melarang penyensoran, pembredelan, maupun pelarangan penyiaran. Bahkan, Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyebutkan bahwa menghalangi atau memaksa penghapusan materi liputan adalah tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara maksimal dua tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Dalam pernyataan resminya, IJTI Sultra menyampaikan enam poin sikap:
Potensi Konsekuensi Hukum
Penghapusan materi liputan di ruang publik oleh pejabat bandara tidak hanya menciderai prinsip kebebasan pers, tetapi juga menimbulkan konsekuensi hukum pidana. IJTI Sultra berkomitmen mengawal kasus ini hingga tuntas.
“Kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan hanya soal satu jurnalis, tapi menyangkut martabat dan kebebasan pers di Indonesia,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi IJTI Sultra, Fadli Aksar.
Editor : Hanny Wijaya