Festival Hutan Adat Papua: Simbol Perlawanan, Identitas, dan Harapan Masyarakat Afsya
BARIAT, iNewssorongraya.id – Di jantung Kampung Bariat, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Festival Hutan Adat Papua digelar pada 22–23 April 2025 sebagai penanda kebangkitan budaya dan perlawanan masyarakat adat Afsya terhadap perusakan hutan leluhur mereka. Kegiatan ini juga memperingati Hari Bumi Internasional, menjadikannya momentum reflektif dan simbolis dalam perjuangan panjang mempertahankan identitas dan tanah adat.
Festival ini menampilkan ragam ekspresi budaya, mulai dari pameran kerajinan anyaman khas Suku Afsya, Koba-Koba Noken, kuliner roti sagu dari mama-mama Distrik Seremuk dan Saifi, hingga pertunjukan musik srar dan tarian berburu burung maleo. Lagu-lagu akustik Mambesak yang dibawakan Belantara Rakyat turut menggetarkan nurani masyarakat yang hadir.
Namun di balik kemeriahan budaya, festival ini menjadi panggung bagi suara-suara perjuangan. Masyarakat menegaskan tuntutan kepada pemerintah untuk segera menindaklanjuti Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat yang hingga kini masih mandek.
“Hutan bukan sekadar pohon, tapi rumah kami, roh kami, dan masa depan anak cucu kami,” tegas Yulian Kareth, tokoh adat Suku Afsya, dengan nada emosional. “Kalau wilayah ini diambil perusahaan, dalam dua hari punah sudah. Kami akan lawan, meski harus berhadapan dengan siapapun.”
Sarus: Lebih dari Sekadar Dusun

Di balik nama "Sarus"—istilah lokal untuk dusun—tersimpan filsafat hidup masyarakat Afsya yang memandang hutan sebagai tubuh spiritual mereka. Sarus bukan hanya tempat tinggal, melainkan ruang sakral di mana roh leluhur, alam, dan manusia menyatu.
Direktur Yayasan Pusaka Bantala Rakyat, Franky Samperante, menyebut Sarus sebagai “jantung kehidupan” masyarakat adat. “Dalam Sarus ada norma, budaya, dan ekonomi yang terbentuk dari interaksi suci dengan tanah dan hutan,” jelasnya.
Ancaman terhadap Sarus bukan sekadar kehilangan ruang fisik, melainkan retaknya identitas dan sistem nilai yang telah dijaga lintas generasi. Pengetahuan lokal masyarakat—dari musim berburu hingga penempatan rumah berdasarkan kosmologi—semua mengakar pada keharmonisan dengan alam.
Perlawanan yang Tak Kenal Lelah

Namun perjuangan tak pernah padam. Aksi massa, pemetaan wilayah adat, ritual adat, dan bahkan lagu perlawanan menjadi senjata mereka. Mama Grice Mondar (54), seniman dari Kampung Konda, menciptakan lagu “Fnaqat Tijoqo Sawit Wain Fombu” sebagai bentuk edukasi dan perlawanan melalui musik.
“Dari lagu ini saya cerita, hutan itu sudah ada semua: satwa, air, obat, makanan. Kalau hutan hilang, hidup juga ikut hilang,” ujar Grice yang telah menulis ratusan syair sejak 1986.
Perjuangan mereka mulai membuahkan hasil pada 2022, saat dua dari tiga izin sawit di wilayah adat Afsya dicabut oleh KLHK. Namun demikian, ancaman belum sepenuhnya usai. Tanpa pengakuan hukum yang jelas terhadap wilayah adat, konflik bisa kembali muncul kapan saja.
Pemda Diminta Tegas, Masyarakat Tetap Siaga

Wakil Bupati Sorong Selatan, Yohan Bodory, yang hadir dalam festival, menyerukan agar seluruh pihak bersatu dalam menjaga hutan adat. Ia menegaskan pentingnya menghormati hak-hak masyarakat adat sebagaimana telah diatur dalam undang-undang.
“Kalau kita tidak bersatu, pelaku perusakan hutan akan leluasa. Tanah adat ini sudah jadi incaran. Kita harus kuat menjaga rumah kita,” ucap Bodory.
Namun, masyarakat menilai pemerintah belum cukup berpihak. Berbagai aksi dan tuntutan mereka kerap diabaikan, bahkan beberapa pendamping hukum menghadapi intimidasi dan kriminalisasi.
“Kalau pemerintah terus tak mendengar, kami juga tidak akan dengar pemerintah. Ini komitmen kami,” tegas Yulian Kareth dalam orasinya di festival.
Menjaga Hutan Adat adalah Menjaga Kehidupan

Festival Hutan Adat Papua bukan hanya pertunjukan budaya, tapi juga deklarasi eksistensi dan martabat. Ia adalah suara kolektif dari hutan-hutan yang menolak dilenyapkan. Masyarakat Afsya menunjukkan bahwa pelestarian hutan adalah soal hak hidup, kedaulatan, dan tanggung jawab antar generasi.
Dalam dunia yang terus digerus oleh krisis iklim dan eksploitasi tanpa batas, masyarakat adat Papua—dengan pengetahuan dan filosofi hidup mereka—tengah menawarkan jalan alternatif: hidup berdampingan, bukan menaklukkan alam.
Editor : Chanry Suripatty