SORONG, iNewsSorong.id – Dalam semangat memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang jatuh pada 25 November, sebuah pameran budaya yang sarat makna digelar selama dua hari berturut-turut (24-25 November 2024) di halaman Gereja Santo Yohanis Pembaptis, Kilometer 13, Sorong. Acara ini diselenggarakan oleh kelompok Paumana yang dipimpin oleh Sileke Kamat, bekerja sama dengan Kelompok Perempuan Seberang Jalan (BSK) dan SKPKC Oesam, dengan membawa pesan yang mendalam: "Kami Ingin Hidup Aman, Damai, dan Bebas di atas Tanah Leluhur Kami."
Pameran ini menjadi sorotan karena mengangkat dua tema besar yang saling berpadu: pemberdayaan perempuan dan pelestarian budaya lokal Papua. Dalam acara tersebut, berbagai karya lokal dipamerkan, seperti bahan pangan bergizi dari hasil kebun, ukiran anak panah dengan nilai seni tinggi, noken Papua—tas tradisional yang melambangkan kekuatan perempuan Papua—serta Koba-Koba, payung tradisional khas suku Maybrat yang sarat filosofi tentang perlindungan dan ketahanan.
Lami Faan, perwakilan dari BSK, menyampaikan bahwa pameran ini tidak hanya bertujuan untuk memamerkan karya seni dan produk lokal, tetapi juga menjadi medium untuk menyuarakan penderitaan masyarakat pengungsi Maybrat, terutama perempuan, yang hingga kini masih hidup dalam situasi yang memprihatinkan. Konflik berkepanjangan di masa lalu telah menciptakan luka mendalam, dengan perempuan menjadi korban utama kekerasan masif di wilayah pengungsian, seperti Kabupaten Maybrat, Kota Sorong, dan Kabupaten Sorong.
"Masih banyak perempuan yang hidup dalam ketidakpastian di pengungsian, menghadapi ancaman kekerasan setiap hari. Melalui pameran ini, kami ingin dunia tahu bahwa kondisi mereka masih jauh dari kata layak," ujar Lami dengan penuh haru.
Mama-mama pengungsi turut berpartisipasi dalam pameran ini, memamerkan hasil kebun dan karya tangan mereka, termasuk Koba-Koba dan ukiran anak panah. Di tengah keterbatasan, mereka tetap menunjukkan semangat untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarga. "Ini adalah bentuk perjuangan kami, meskipun hidup di pengungsian," tambah Lami.
Melalui acara ini, para penyelenggara berharap dapat membuka mata masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan dan pengungsi. "Narasi pemerintah yang mengatakan bahwa situasi di Maybrat sudah membaik adalah kebohongan. Kami meminta militer ditarik dari kampung-kampung pengungsi agar masyarakat bisa kembali ke tanah leluhur mereka tanpa rasa takut," tegas Lami.
Sileke Kamat, salah satu inisiator acara, menambahkan bahwa pameran ini juga bertujuan untuk membangun kesadaran tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan terhadap perempuan. "Kami ingin mendukung pemberdayaan perempuan melalui budaya lokal, sekaligus menyerukan perdamaian untuk Papua," ujarnya.
Lebih dari sekadar perayaan budaya, pameran ini menjadi simbol perjuangan perempuan Papua dalam melawan kekerasan dan ketidakadilan. Di tengah tarian tradisional, warna-warni noken, dan aroma khas pangan lokal, ada seruan yang lantang: penghentian kekerasan, pengakuan hak, dan perdamaian abadi bagi tanah Papua.
Pameran ini adalah pengingat bahwa di balik karya seni yang indah, terdapat cerita perjuangan dan ketahanan perempuan Papua, yang tak pernah menyerah menjaga budaya dan hak mereka di atas tanah leluhur.
Editor : Chanry Suripatty