get app
inews
Aa Text
Read Next : Pemprov Papua Barat Daya Dukung Lima Anak Papua Mengejar Mimpi Jadi Pilot Lewat Dana Otsus

KPK Warning Pemda di Tanah Papua: Dana Otsus Bukan ATM Birokrasi, Tapi Hak Hidup Bermartabat OAP

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:58 WIB
header img
Ketua Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) Wilayah V KPK, Dian Patria.

 

KOTA SORONG, iNewssorongraya.id — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melayangkan peringatan keras kepada seluruh pemerintah daerah di Tanah Papua. Lembaga antirasuah itu menegaskan bahwa dana Otonomi Khusus (Otsus) tidak pernah dirancang sebagai “bancakan birokrasi”, melainkan sebagai instrumen negara untuk menjamin Orang Asli Papua (OAP) hidup bermartabat di tanahnya sendiri.

Nada keras tersebut disampaikan Ketua Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) Wilayah V KPK, Dian Patria, dalam Seminar dan Lokakarya Pencegahan Korupsi dalam Tata Kelola Otonomi Khusus yang digelar di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Selasa (16/12/2025).

Pernyataan KPK ini mencerminkan kegelisahan negara terhadap fakta lapangan: lebih dari dua dekade dana Otsus digelontorkan, namun publik masih mempertanyakan keberadaannya.

“Otsus lahir bukan untuk memperkaya birokrasi, tapi untuk menghasilkan OAP hidup bermartabat di tanahnya sendiri. Jika masyarakat masih bertanya di mana dana Otsus, itu bukan semata kesalahan mereka, melainkan introspeksi bagi pemerintah daerah,” tegas Dian.

KPK menilai, terus munculnya pertanyaan publik soal manfaat dana Otsus merupakan indikator serius kegagalan tata kelola. Sejak 2002, dana Otsus yang mengalir ke Tanah Papua telah mendekati Rp200 triliun, namun dampak nyatanya dinilai belum sebanding dengan besarnya anggaran.

Menurut Dian, persoalan utama terletak pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak sehat. Belanja pegawai yang membengkak—termasuk beban aparatur dan PPPK—telah menggerus ruang fiskal untuk belanja publik.

“Banyak APBD di Tanah Papua lebih besar belanja pegawainya dibanding belanja fisik. Akhirnya dana tidak sampai ke masyarakat, termasuk dana Otsus,” ujar Dian.

Dalam kondisi keuangan daerah yang kian tertekan, KPK mengingatkan potensi korupsi justru semakin besar jika tidak dibarengi perubahan perilaku dan sistem.

“Jangan sampai APBD yang rawan dan rapuh ditambah dana Otsus, tapi perilaku tidak berubah. Masih main-main, masih korupsi,” kata Dian dengan nada tegas.

Ia mengungkapkan, praktik korupsi kerap berawal dari tahap perencanaan, ketika niat jahat (mens rea) sudah disisipkan sebelum program dijalankan.

“Sering kali korupsi itu dimulai dari perencanaan. Sudah ada niat jahat di sana,” ungkapnya.

Untuk menutup celah penyimpangan, KPK mendorong reformasi menyeluruh melalui penguncian sistem anggaran. Langkah ini dilakukan dengan mengintegrasikan tiga aplikasi utama: SIPD RI (Kemendagri), SIKD Otsus (Kemenkeu), dan SIP3 (Bappenas).

Melalui integrasi tersebut, alokasi dana Otsus akan diberi penanda (tagging) elektronik sejak tahap perencanaan hingga realisasi, sehingga tidak bisa lagi dicampur atau dialihkan.

“Kita mau kunci by system. Jangan sampai ada program di luar RKPD, RPJMD, atau RAP3. Tidak boleh ada titipan proyek,” jelas Dian.

KPK mencatat, integrasi tiga sistem ini mulai dijalankan sejak 15 Juli 2025, diperkuat dengan Surat Edaran Bersama tiga menteri, dan secara resmi dioperasionalkan melalui interoperabilitas pada 4 November 2025.

Selain sistem, KPK menyoroti masalah mendasar lainnya: ketiadaan data Orang Asli Papua yang valid dan terlindungi regulasi. Tanpa data yang jelas, sasaran dana Otsus dinilai kabur.

“Kalau sistem sudah dibenahi, pertanyaannya: uang ini untuk siapa? Data OAP kita benar atau tidak? Itu tantangannya,” ujar Dian.

Ia mengungkapkan, hingga kini baru Provinsi Papua Barat yang memiliki Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang pendataan OAP. Daerah lain dinilai masih tertinggal.

“Di Tanah Papua, baru Papua Barat yang punya Perdasus pendataan OAP. Itu harus didorong,” tegasnya.

KPK juga menyinggung persoalan serius di tubuh birokrasi Papua, mulai dari pengangkatan aparatur yang tidak berbasis kompetensi hingga data ASN bermasalah.

“Pengangkatan pegawai sering bukan karena kompetensi, tapi kedekatan. Satu kampung, satu partai, satu relasi,” ungkap Dian.

Ia mengungkap temuan mengejutkan: sekitar 2.000 ASN di Tanah Papua seharusnya sudah pensiun, namun masih tercatat menerima gaji. Bahkan ditemukan kasus pegawai digaji ganda lintas daerah serta Nomor Induk Pegawai (NIP) tidak valid.

Menutup pernyataannya, KPK menegaskan bahwa dana Otsus tidak boleh terus menjadi sumber konflik dan kecurigaan publik. Tanpa sistem kuat dan data penerima yang jelas, Otsus berisiko gagal memenuhi tujuan konstitusionalnya.

“Harapan kami sederhana: tidak ada lagi masyarakat bertanya ke mana dana Otsus. Otsus harus dirasakan, bukan diperdebatkan,” pungkas Dian.

 

 

Editor : Hanny Wijaya

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut