JAYAPURA, iNewsSorong.id - Ketegangan memuncak di tanah Papua setelah tindakan Panglima TNI meresmikan lima Batalyon Infanteri (Yonif) Penyangga Daerah Rawan di lima wilayah Papua. Langkah ini, yang diklaim bertujuan mendukung program ketahanan pangan pemerintah, dipandang oleh masyarakat adat sebagai pelanggaran hak yang mendasari keresahan mendalam.
Masyarakat adat Papua, bersama Lembaga Bantuan Hukum Papua, menentang keras kebijakan ini. Mereka menuduh bahwa pembentukan batalyon tersebut lebih melayani kepentingan bisnis sepuluh perusahaan besar yang terlibat dalam proyek strategis nasional di Merauke, yang mengancam hak adat dan tanah leluhur mereka. Sejumlah perusahaan, termasuk PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri, disebut-sebut mendapatkan keuntungan dari pengamanan militer ini.
Kecaman datang dari berbagai pihak, terutama dari keluarga besar masyarakat adat seperti Marga Kwipalo, Marga Gebze, dan Marga Moiwend. Mereka menilai bahwa langkah ini melanggar tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang menegaskan bahwa prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis.
Lembaga Bantuan Hukum Papua menyerukan agar Presiden Republik Indonesia segera membatalkan pendirian batalyon ini. Mereka menegaskan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip tentara profesional yang seharusnya tidak berpolitik praktis dan tidak berbisnis. Selain itu, Menteri Pertanian juga didesak untuk menghentikan proyek strategis nasional di Merauke yang dianggap melanggar hak masyarakat adat Papua, khususnya masyarakat adat Marind.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay, S.H., MH, menyatakan, “Ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga soal martabat dan hak asasi masyarakat adat Papua. Kami menuntut keadilan dan pengakuan hak-hak kami yang telah lama diabaikan.”
Respon ini menggarisbawahi konflik antara kepentingan bisnis dan hak masyarakat adat yang terus menjadi isu sensitif di Papua. Ketegangan ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah pusat untuk memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan hak-hak dasar masyarakat setempat.
Siaran pers yang dikeluarkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Papua menandai babak baru dalam perjuangan panjang masyarakat adat Papua untuk mempertahankan tanah dan hak mereka dari berbagai ancaman eksternal.
Untuk semua pihak yang terlibat, situasi ini menuntut pendekatan yang bijak dan adil demi tercapainya solusi yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan kepentingan nasional secara berimbang.
Editor : Chanry Suripatty