“Ini menyakiti hati masyarakat Papua, karena tanah mereka seolah diambil tanpa persetujuan pemerintah Raja Ampat dan Papua Barat Daya. Hal ini jelas bertentangan dengan PP Nomor 2 Tahun 2021 dan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017,” tegas Kambu.
Rapat yang dipimpin Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk itu dihadiri Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya, Penjabat Sekda Papua Barat Daya, anggota DPR Papua Barat, serta sejumlah pejabat daerah Raja Ampat termasuk Bupati, Wakil Bupati, Ketua dan Wakil Ketua DPRK Raja Ampat. Tokoh adat dan tokoh lintas suku Orang Asli Papua juga turut hadir untuk menyuarakan dukungan.
Mereka sepakat bahwa pengalihan status tiga pulau melukai hak adat dan identitas masyarakat Raja Ampat yang selama ini menjaga pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah kultural dan administratif mereka.
Menanggapi desakan tersebut, Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk menyatakan akan menelaah dokumen-dokumen yang diserahkan Gubernur Papua Barat Daya.
“Kami akan mempelajari seluruh data dan surat yang sudah diterima, serta memfasilitasi pertemuan antara pemerintah Papua Barat Daya dan Maluku Utara untuk mencari jalan penyelesaian,” ujar Ribka.
Sengketa ini berpotensi menimbulkan ketegangan antarprovinsi jika tidak segera diselesaikan. Selain menyangkut kedaulatan administratif, masalah ini juga terkait hak adat, tata ruang, dan kebijakan otonomi khusus Papua.
Masyarakat Papua Barat Daya menilai pengalihan pulau tanpa persetujuan menyalahi prinsip keadilan dan mengabaikan keberadaan masyarakat adat sebagai pemilik hak historis. Pemerintah daerah kini menunggu langkah lanjutan Kemendagri dalam menengahi sengketa tersebut.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait
