SORONG, iNewssorongraya.id – Polemik proses pengangkatan anggota DPRK Maybrat periode 2024–2029 kini memasuki babak hukum. Dua calon peserta seleksi, Semuel Kambuaya dan Nataniel Wafom, melalui kuasa hukum mereka Loury da Costa, resmi menggugat Bupati Maybrat dan Panitia Seleksi DPRK ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Manado.
Gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 4/G/2025/PT.TUN.MDO dan secara khusus menyasar Keputusan Bupati Maybrat Nomor: 2/A Tahun 2025 tertanggal 17 April 2025, serta dua produk hukum Panitia Seleksi terkait penetapan calon terpilih dan tetap melalui mekanisme pengangkatan Orang Asli Papua (OAP).
Dalam gugatannya, Loury da Costa menilai keputusan tersebut sarat kejanggalan dan diskriminatif. Ia menuntut pembatalan nama-nama tertentu dalam lampiran keputusan, yakni EK dari Daerah Pengangkatan I Aifat Raya dan TB dari Daerah Pengangkatan II Aitinyo Raya. Menurut Loury, penetapan mereka tidak merepresentasikan prinsip keadilan dan keterwakilan yang semestinya.
"Jika keputusan ini tetap dijalankan, sangat berpotensi memicu konflik horizontal di tengah masyarakat," tegas Loury dalam keterangannya.
Penggugat juga meminta majelis hakim agar menunda pelaksanaan keputusan selama proses hukum berlangsung. Mereka menuntut pengesahan kembali terhadap Semuel Kambuaya dan Nataniel Wafom sebagai calon terpilih yang sah, sesuai syarat dan ketentuan seleksi.
Adapun keputusan lain yang turut disengketakan meliputi:
Berita Acara Pleno Panitia Seleksi Nomor: 179/A.IV.5/BA-PANSEL/IV/2025
Surat Keputusan Panitia Seleksi Nomor: 1.1.3/PANSEL-DPRK/MBT/IV/2025
Loury meminta kedua keputusan tersebut dicabut dan dinyatakan batal demi hukum.
Ia juga mengingatkan semua pihak, khususnya penyelenggara daerah dan panitia seleksi, agar menghormati proses peradilan yang sedang berjalan di PTUN Manado dan tidak mengambil tindakan yang dapat memperkeruh suasana sosial di Maybrat.
Gugatan ini menjadi sorotan publik karena menyangkut mekanisme afirmasi pengangkatan OAP dalam lembaga legislatif lokal. Jika dikabulkan, keputusan pengadilan ini bisa menjadi preseden penting dalam penataan demokrasi afirmatif di Papua Barat Daya.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait