Hutan Adat Terancam, Suara Suku Awyu Tak Terdengar di Meja Hukum

ANDREW CHAN
Perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi dari Papua Barat mendatangi Mahkamah Agung dengan pakaian tradisional. (FOTO: Jurnasyanto Sukarno - Greenpeace)

 


JAKARTA, iNewsSorong.id – Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, bersama Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, mengungkapkan kekecewaan mendalam atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi masyarakat adat Awyu dalam mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman ekspansi perkebunan sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Putusan ini memperpanjang deretan kesulitan yang dihadapi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam mempertahankan hak mereka atas tanah dan lingkungan dari perusakan korporasi.


Perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi dari Papua Barat mendatangi Mahkamah Agung dengan pakaian tradisional. (FOTO: Jurnasyanto Sukarno - Greenpeace)

 

 

“Saya merasa kecewa dan sakit hati karena tidak ada lagi jalan lain untuk melindungi tanah dan manusia di wilayah adat saya,” ungkap Hendrikus Woro dengan penuh haru. “Saya lelah dan sedih karena selama berjuang, tidak ada dukungan dari pemerintah daerah maupun pusat. Kepada siapa lagi saya harus berharap?”


Perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi dari Papua Barat mendatangi Mahkamah Agung dengan pakaian tradisional. (FOTO: Jurnasyanto Sukarno - Greenpeace)

 

 

Hendrikus sebelumnya mengajukan kasasi ke MA setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar menolak gugatan dan bandingnya. Gugatan tersebut berkaitan dengan izin lingkungan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL), perusahaan sawit yang memiliki konsesi seluas 36.094 hektare di tanah adat marga Woro, bagian dari suku Awyu.


Perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi dari Papua Barat mendatangi Mahkamah Agung dengan pakaian tradisional. (FOTO: Jurnasyanto Sukarno - Greenpeace)

 

 

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 458 K/TUN/LH/2024 yang dirilis pada 1 November 2024, satu dari tiga hakim, Yodi Martono Wahyunadi, mengajukan dissenting opinion. Hakim Yodi mempersoalkan perhitungan tenggat waktu pengajuan gugatan, yang menjadi dasar PTTUN Makassar menolak banding Hendrikus. Menurutnya, perhitungan waktu seharusnya mengikuti Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, yang hanya memperhitungkan hari kerja dan mempertimbangkan hari libur lokal di Papua. Demi keadilan substantif, ia menilai aturan tenggat tersebut seharusnya tidak diterapkan secara kaku.


Perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi dari Papua Barat mendatangi Mahkamah Agung dengan pakaian tradisional. (FOTO: Jurnasyanto Sukarno - Greenpeace)

 

 

Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua, menilai bahwa inkonsistensi dalam penerapan peraturan oleh Mahkamah Agung justru memperburuk kondisi masyarakat adat. “Putusan MA ini tidak berarti objek gugatan sudah benar karena dua hakim tidak memeriksa substansinya. Namun, dissenting opinion menunjukkan bahwa amdal yang diterbitkan belum mengakomodasi kerugian masyarakat adat di wilayah tersebut,” jelasnya.

Hakim Yodi dalam dissenting opinion juga menilai izin lingkungan untuk PT IAL bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga seharusnya dibatalkan. Namun, pandangannya kalah suara dalam rapat majelis hakim.


Perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi dari Papua Barat mendatangi Mahkamah Agung dengan pakaian tradisional. (FOTO: Jurnasyanto Sukarno - Greenpeace)

 

 

Masa Depan Hutan dan Masyarakat Adat Papua Semakin Terancam

Putusan MA ini menjadi pukulan berat bagi masyarakat Awyu yang selama ini bergantung pada hutan adat mereka. Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa kabar ini memperlihatkan bahwa pemerintah dan hukum belum memihak kepada masyarakat adat Papua. "Saat dunia berbicara tentang penyelamatan keanekaragaman hayati, kita justru dihadapkan pada ancaman kepunahan bagi masyarakat adat dan ekosistem di Papua," ujarnya.

Kasus PT IAL hanyalah salah satu dari sekian banyak perjuangan yang dihadapi masyarakat adat Awyu. Saat ini, masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan terhadap PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit lainnya yang berencana melakukan ekspansi di Boven Digoel dengan konsesi seluas 65.415 hektare. Putusan MA dalam kasus PT IAL ini dikhawatirkan akan menjadi preseden bagi kasus-kasus lainnya, sehingga membahayakan kelangsungan hutan hujan dan kehidupan masyarakat adat di Papua.


Perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi dari Papua Barat mendatangi Mahkamah Agung dengan pakaian tradisional. (FOTO: Jurnasyanto Sukarno - Greenpeace)

 

 

Dukungan publik terhadap perjuangan masyarakat adat Awyu telah datang dari berbagai pihak. Pada Juli 2024, petisi dukungan sebanyak 253.823 tanda tangan diserahkan ke Mahkamah Agung. Tagar #AllEyesOnPapua sempat ramai di media sosial sebagai bentuk solidaritas masyarakat Indonesia. Namun, suara rakyat tampaknya belum cukup menggugah para pemangku kepentingan di MA.

Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, menegaskan bahwa masyarakat adat berhak atas tanah dan hutan adat mereka, yang telah dijaga turun-temurun. “Kepemilikan izin oleh perusahaan tidak menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah, sebab masih ada pemilik hak adat yang belum melepaskan haknya. Kami berharap publik terus mendukung perjuangan suku Awyu dan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua, karena ini juga merupakan bagian dari upaya melindungi Bumi dari pemanasan global.”

Papua bukan tanah kosong. Tanah Papua adalah rumah bagi keanekaragaman hayati, dan masyarakat adat adalah penjaga alam tanpa pamrih. Mereka membutuhkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat agar hak atas tanah adat dan keanekaragaman hayati tetap terjaga.

Narahubung:

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat — +62812-8729-6684
Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia — +62812-8776-9880
Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia — +62811-1463-105
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua: Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia.

 

 

Editor : Chanry Suripatty

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network