SORONG, iNewsSorong.id — Keputusan Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Hendrikus Woro, perwakilan masyarakat adat suku Awyu, untuk mempertahankan hutan adat mereka dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan, menuai kekecewaan mendalam dari pemuda adat Papua. Sejumlah pemuda adat suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, mengungkapkan bahwa keputusan ini memperburuk kondisi perlindungan hak-hak masyarakat adat yang sudah lama mereka perjuangkan.
Koordinator Konfederasi Selamatkan Tanah, Hutan, dan Manusia Papua (KSTHMP), Fiktor Klafiyu, menyatakan kekecewaannya terhadap putusan ini. "Kami masyarakat adat suku Moi sangat kecewa terhadap Majelis Hakim MA karena tidak mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat yang saat ini terancam dirampas oleh perusahaan sawit," kata Fiktor. Ia menegaskan bahwa keberadaan masyarakat adat telah diakui dalam Pasal 18B UUD 1945, yang menjamin pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Menurutnya, putusan ini mencerminkan ketidakadilan bagi masyarakat adat dan seakan lebih berpihak pada investasi korporasi dibandingkan dengan hak-hak dasar masyarakat adat.
Putusan Mahkamah Agung dengan nomor perkara 458 K/TUN/LH/2024, yang dibuat pada rapat majelis hakim pada 18 September lalu, secara resmi dirilis pada 1 November 2024. Dalam kasus ini, satu hakim, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Hakim Yodi menyoroti ketidaksesuaian perhitungan tenggat waktu pengajuan gugatan yang sebelumnya dijadikan alasan oleh PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus Woro. Ia menilai bahwa gugatan seharusnya tetap dapat diterima, mengingat perhitungan tenggat waktu harus mencakup hari libur di Papua dan berfokus pada keadilan substantif. Lebih lanjut, Yodi juga berpendapat bahwa izin lingkungan hidup yang diberikan kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga perlu dibatalkan.
Hendrikus Woro menggugat izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua kepada PT IAL, perusahaan sawit yang memiliki konsesi seluas 36.094 hektare di wilayah adat suku Awyu. Sebelum putusan kasasi dikeluarkan, dukungan publik untuk suku Awyu sangat tinggi. Sebuah petisi dengan 253.823 tanda tangan diserahkan kepada MA pada Juli lalu dengan tagar #AllEyesOnPapua sempat menjadi trending di media sosial. Namun, dukungan tersebut belum mampu mempengaruhi keputusan akhir yang tetap tidak berpihak pada masyarakat adat.
Masyarakat adat suku Moi, yang juga tengah memperjuangkan hak atas wilayah adat mereka, merasakan duka yang sama. Mereka menghadapi ancaman izin usaha dari PT Sorong Agro Sawitindo yang mengantongi konsesi seluas 18.160 hektare di Kabupaten Sorong. “Kami berharap MA agar memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi kami masyarakat adat. Hakim harus memihak kepada masyarakat adat dan melihat fakta di lapangan. Kami sepenuhnya hidup berdampingan dengan hutan sebagai sumber kehidupan abadi,” ujar Fiktor.
Soraya Do, Koordinator Volunteer Greenpeace Indonesia di Sorong, mengungkapkan bahwa selama dua dekade terakhir, hutan hujan di Papua semakin terancam oleh alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, tambang, dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurutnya, sebagian besar proyek tersebut dilakukan dengan praktik perampasan tanah adat.
Dalam konteks Papua, Soraya mengingatkan bahwa masyarakat adat adalah subjek hukum lex specialis yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. "Pengadilan seharusnya menegakkan hukum yang berkeadilan untuk menyelamatkan hutan Papua. Kita bisa hidup tanpa uang atau investasi, namun kita tidak bisa hidup tanpa hutan dan tanah adat," tutupnya.
Dengan putusan MA yang menolak kasasi masyarakat adat suku Awyu, harapan masyarakat adat Papua untuk mempertahankan hutan mereka dari ekspansi sawit kini menjadi kian samar. Bagi mereka, hutan bukan sekadar lahan, melainkan sumber kehidupan yang diwariskan turun-temurun dan harus terus dilestarikan.
Editor : Chanry Suripatty
Artikel Terkait