Masyarakat Adat Wanam Blokade Jalan, Desak Pemerintah dan PT Jhonlin Hentikan PSN Merauke
MERAUKE, iNewssorongraya.id— Masyarakat adat Malind Maklew di Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, menancapkan Salib Merah dan memberlakukan sasi adat sebagai simbol pelarangan seluruh aktivitas Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke yang dijalankan oleh PT Jhonlin Group. Aksi yang berlangsung pada Senin, 15 Desember 2025, itu menjadi bentuk penolakan terbuka masyarakat adat atas proyek pembangunan jalan, cetak sawah, pelabuhan, dan bandara di wilayah adat mereka.
Penanaman Salib Merah dilakukan di sejumlah titik yang disebut telah digusur untuk pembangunan jalan sepanjang 13 kilometer serta infrastruktur pendukung PSN. Wilayah tersebut merupakan tanah ulayat masyarakat adat Wanam yang selama ini menjadi ruang hidup, sumber pangan, dan mata pencaharian tradisional.
Aksi serupa sebelumnya telah dilakukan pada 5 Desember 2025. Saat itu, sejumlah marga—Kahol, Basik-Basik, Moiwend, Balagaize, Gebze, dan marga lainnya—menancapkan Salib Merah di persimpangan jalan yang menghubungkan Kampung Wanam, Wogikel, Nakias, dan dermaga baru. Dalam aksi tersebut, masyarakat membacakan pernyataan sikap penolakan dan meminta perusahaan menghentikan seluruh kegiatan di wilayah adat.
PSN Merauke merupakan proyek pemerintah yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023 dan diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah, serta Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2025 yang menetapkan Wanam sebagai Kawasan Sentra Produksi Pangan. Pemerintah menugaskan PT Jhonlin Group—perusahaan milik pengusaha nasional Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam—untuk menjalankan proyek tersebut.
Namun, Lembaga Bantuan Hukum Papua Merauke menilai pelaksanaan PSN Merauke mengabaikan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Free, Prior and Informed Consent/FPIC). “Faktanya, proyek ini berjalan tanpa konsultasi dan keterlibatan bermakna masyarakat adat yang wilayahnya terdampak langsung,” kata Direktur LBH Papua Merauke, Johnny Teddy Wakum, dalam siaran pers yang diterima Redaksi iNewssorongraya.id, Sabtu [25/12/2025].
Menurut LBH Papua Merauke, aktivitas proyek selama lebih dari satu tahun telah memicu penggusuran paksa, kerusakan hutan dan rawa, serta hilangnya sumber pangan masyarakat adat. Dampak serupa juga dilaporkan terjadi di wilayah Nakias, Jagebob, hingga Kampung Soa di Distrik Tanah Miring.
Temuan tersebut sejalan dengan hasil pemantauan Komnas HAM RI sepanjang 2024–2025. Komnas HAM mencatat dugaan pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari pengabaian FPIC, tidak diakuinya hak ulayat, hingga keterlibatan aparat keamanan dalam pelaksanaan proyek.
LBH Papua Merauke menegaskan bahwa keberadaan masyarakat adat Wanam diakui oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaga tersebut juga menilai dugaan penyerobotan lahan adat dapat dikaitkan dengan Pasal 385 ayat (1) KUHP.
Dalam pernyataan sikapnya, masyarakat adat Wanam menuntut pemerintah dan PT Jhonlin Group menghormati penanaman Salib Merah dan sasi adat, menghentikan seluruh aktivitas proyek, menarik alat berat dari wilayah adat, serta memulihkan kerusakan lingkungan. Mereka juga meminta jaminan keamanan dan pemetaan hak ulayat sebagai bentuk perlindungan hukum.
Salib Merah, bagi masyarakat adat Wanam, dimaknai sebagai simbol perlawanan ekologis dan spiritual, sekaligus peringatan keras atas batas wilayah adat. “Jika Salib Merah dilanggar, itu berarti pihak yang melanggar secara sadar menciptakan konflik dengan masyarakat adat,” tegas Johnny Teddy Wakum.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah maupun PT Jhonlin Group terkait tuntutan penghentian aktivitas PSN Merauke di Wanam.
Editor : Hanny Wijaya