Ketua RT se-Kota Sorong Tolak Insentif Rp500 Ribu: Dinilai Tak Layak dan Bentuk Penghinaan Negara
SORONG KOTA, iNewssorongraya.id — Penolakan terbuka terhadap kebijakan Pemerintah Kota Sorong meledak dari level paling bawah birokrasi. Ratusan Ketua Rukun Tetangga (RT) se-Kota Sorong secara kolektif menolak insentif sebesar Rp500 ribu yang diberikan pemerintah daerah, dengan alasan nilai tersebut tidak manusiawi, tidak layak, dan mencerminkan kegagalan negara menghargai kerja aparatur kewilayahan.
Penolakan itu bukan sekadar protes nominal, melainkan simbol kemarahan struktural atas stagnasi kesejahteraan Ketua RT yang selama bertahun-tahun tidak pernah mengalami kenaikan honor, meskipun beban kerja dan tekanan sosial terus meningkat.
Perwakilan Ketua RT, Paulus Aronggear, Ketua RT 03 RW 04 Kelurahan Klademak Belakang Ramayana Mall, menyatakan bahwa insentif Rp500 ribu bukan solusi, melainkan bentuk pengabaian sistematis terhadap peran RT sebagai ujung tombak pelayanan publik.
“Apa yang diberikan pemerintah kota dari tahun ke tahun, kami RT ini seperti tidak punya penghargaan sama sekali. Sebenarnya RT ini dijuluki seperti apa? Hewan atau manusia? Dari tahun ke tahun honor kami tidak pernah dinaikkan,” tegas Paulus saat ditemui awak media di depan Gedung Lambert Jitmau, Kompleks Kantor Wali Kota Sorong, Selasa (16/12/2025).
Paulus menegaskan, dirinya berbicara atas nama Ketua RT se-Kota Sorong dan secara resmi menolak insentif tersebut. Ia bahkan meminta agar dana yang sudah diberikan dikembalikan kepada pemerintah daerah.
“Hari ini kami sudah menyatakan menolak uang lima ratus ribu rupiah yang diberikan. Kami kembalikan uang itu ke pemerintah kota. Ini bukan soal menerima atau tidak, tapi soal penghargaan. Lima ratus ribu itu tidak layak dan merupakan penghinaan bagi kami Ketua RT,” ujarnya.
Ia mengakui, sebagian Ketua RT telah terlanjur menerima insentif tersebut. Namun, menurutnya, penerimaan itu tidak mengubah sikap prinsipil bahwa nilai yang diberikan sama sekali tidak sebanding dengan tanggung jawab yang diemban RT di lapangan.
“Kami ini setengah mati mengurus warga. Kami sering dicaci maki masyarakat, tapi ketika soal kesejahteraan, kami tidak pernah diperhatikan. Kalau perlu, gaji yang diterima lurah juga bisa diberikan kepada Ketua RT,” kata Paulus.
Ketegangan pun meningkat ketika para Ketua RT menyampaikan ultimatum terbuka kepada Pemerintah Kota Sorong. Mereka menuntut agar aspirasi tersebut segera diterima dan dibahas langsung oleh pimpinan daerah. Jika tidak, aksi pendudukan kantor wali kota menjadi opsi terbuka.
“Hari ini kami minta kepada Pak Wakil Wali Kota. Kami menunggu Pak Wali Kota kapan ada di Kota Sorong. Kami Ketua RT se-Kota Sorong akan duduki Gedung Lambert Jitmau. Kami minta aspirasi kami diterima,” tegasnya.
Menanggapi polemik tersebut, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (PMK) Kota Sorong, Riduan Gultom, menyampaikan bahwa jumlah Ketua RT dan RW di Kota Sorong saat ini mencapai 1.033 orang, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 1.009 orang.
Riduan menjelaskan, pemerintah daerah telah berupaya memberikan insentif sesuai kemampuan fiskal daerah, meskipun dihadapkan pada kebijakan efisiensi anggaran.
“Kami sudah berupaya memberikan yang terbaik. Namun, tahun ini terjadi efisiensi anggaran. Meski demikian, insentif tetap diberikan dan tidak mengalami penurunan,” jelas Riduan.
Ia menambahkan, penyaluran insentif dilakukan secara bertahap di 10 distrik di Kota Sorong, dengan melibatkan sejumlah pegawai guna memastikan proses distribusi berjalan sesuai mekanisme yang berlaku.
Polemik penolakan insentif ini menjadi sorotan publik karena menyentuh isu fundamental tata kelola pemerintahan lokal: penghargaan terhadap aparatur paling bawah yang setiap hari bersentuhan langsung dengan persoalan sosial warga. Ketika RT merasa direndahkan oleh kebijakan anggaran, kepercayaan terhadap negara di tingkat komunitas pun terancam terkikis.
Editor : Hanny Wijaya