Korban VW Mengaku Laporan ke Polres Raja Ampat Tak Ditindak, Aparat Disebut Lindungi Pejabat
SORONG KOTA, iNewssorongraya.id - Upaya seorang perempuan di Raja Ampat mencari perlindungan hukum atas dugaan kekerasan seksual yang dialaminya justru berujung pada kekecewaan mendalam. Berkali-kali melapor ke kepolisian, korban mengaku kasusnya tak kunjung diproses secara serius, sementara terduga pelaku disebut-sebut dilindungi oleh status dan jabatannya sebagai pejabat daerah.
VW (35) mengungkapkan dugaan kekerasan seksual yang dialaminya sejak usia anak-anak hingga dewasa. Terduga pelaku disebut adalah ayah kandungnya sendiri, FW, yang menjabat sebagai Asisten I Sekretariat Daerah Kabupaten Raja Ampat.
Kesaksian VW yang disampaikan melalui media sosial memicu perhatian luas publik, bukan hanya karena beratnya dugaan tindak pidana, tetapi juga karena klaim korban bahwa upaya hukum yang ditempuh berulang kali justru menemui jalan buntu.
“Ini bukan baru sekali. Ini sejak saya umur lima tahun, kelas satu SD. Sekarang saya umur 35 tahun dan saya masih mengalami ini,” ujar VW dengan suara bergetar.
Menurut VW, kekerasan tersebut berlangsung bertahun-tahun dalam situasi tekanan psikologis dan ancaman. Ia mengaku telah berusaha melapor ke keluarga dan aparat penegak hukum, namun respons yang diterima justru dinilai sebagai bentuk pembiaran.
“Saya kasih tahu keluarga, tapi mereka pilih diam. Mereka bilang jangan buat malu keluarga, jangan ganggu nama baik Bapak yang pejabat,” katanya.
VW menyebut ancaman kerap disampaikan pelaku setiap kali ia mencoba melawan atau mencari pertolongan. Status dan relasi kekuasaan disebut digunakan untuk menakut-nakuti korban.
“Dia bilang dia teman Kapolres, teman Wakapolres, teman pejabat. Katanya nanti saya yang dilapor ke polisi,” ujar VW.
Korban mengaku pernah mendatangi Polres Raja Ampat untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Namun, laporan tersebut disebut tidak ditindaklanjuti secara tegas.
“Polisi bilang Bapak ada kegiatan, Bapak sibuk. Katanya nanti kalau sudah senggang baru dipanggil. Kita harus jaga nama baik,” tuturnya.
VW menilai hukum seolah tidak berjalan ketika berhadapan dengan pelaku yang memiliki jabatan. Bahkan saat pelaku sempat ditahan, ia mengaku yang bersangkutan dibebaskan kembali dalam waktu singkat.
“Alasannya sama, katanya ada kegiatan dinas,” katanya.
Selain kekerasan seksual, VW juga mengungkap adanya kekerasan fisik dan intimidasi dalam rumah tangga. Ia mengaku pernah dipukul menggunakan kabel listrik serta mendapat ancaman serius.
“Kalau saya tidak layani, saya dipukul pakai kabel, saya disetrum, saya diancam. Ini bukan sekali dua kali,” ujarnya.
Merasa tidak lagi memiliki ruang aman dan tidak menemukan keadilan melalui jalur formal, VW akhirnya memutuskan menyampaikan kesaksiannya secara terbuka melalui siaran langsung di media sosial.
“Saya live [di Medsos Facebook] karena saya sudah tidak tahan. Semua orang diam. Keluarga diam. Polisi diam. Negara diam,” katanya.
Ia menyadari langkah tersebut berisiko, namun memilih bersuara demi keselamatan dirinya.
“Lebih baik saya bicara ke publik daripada saya mati diam-diam di dalam rumah itu,” ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kasih Indah Papua, Yance Dasnano, SH, selaku kuasa hukum korban, mengecam keras lambannya respons aparat penegak hukum dalam menangani laporan kliennya.
“Tidak ada alasan bagi kepolisian menunda penangkapan. Ini kejahatan seksual berat, dilakukan oleh ayah kandung, sejak korban berusia lima tahun. Ini kriminal murni,” tegas Yance.
Ia menegaskan bahwa perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta sejumlah pasal dalam KUHP.
“Pasal 76D juncto Pasal 81 UU Perlindungan Anak ancamannya maksimal 15 tahun penjara, ditambah pemberatan karena dilakukan orang tua kandung. Hukuman bisa lebih dari 20 tahun,” jelasnya.
Yance juga menyoroti dugaan penyalahgunaan jabatan dan relasi kekuasaan yang digunakan untuk mengintimidasi korban.
“Alasan pelaku pejabat tidak boleh jadi tameng hukum. Jabatan tidak membuat seseorang kebal. Ancaman mengaku dekat dengan pejabat justru memperberat tindak pidananya,” katanya.
Menurutnya, bukti permulaan telah cukup untuk segera melakukan penindakan.
“Korban punya kronologi lengkap, ada riwayat laporan, saksi, dan bukti awal. Tidak ada alasan hukum untuk menunda,” ujarnya.
LBH menyatakan akan membawa kasus ini ke tingkat yang lebih tinggi apabila tidak ada tindakan tegas dalam waktu dekat.
“Kalau hari ini tidak ada langkah hukum, kami akan naikkan ke Polda Papua Barat Daya, Kompolnas, Komnas Perempuan, hingga Ombudsman. Tidak boleh ada pembiaran lagi,” kata Yance.
Kasus VW menyoroti kembali kerentanan perempuan terhadap kekerasan seksual, terutama ketika pelaku memiliki kuasa dan jabatan. Dugaan pembiaran aparat dalam menangani laporan korban kini menjadi sorotan publik, sekaligus ujian bagi penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu.
Editor : Hanny Wijaya