Skandal PT MER di Raja Ampat: Anggota DPR RI Ungkap Dugaan Pencucian Uang hingga Pemalsuan Ijazah

SORONG, iNewssorongraya.id – Anggota DPR RI dari Partai Golkar Dapil Papua Barat Daya, Robert Joppy Kardinal, mengungkap sederet dugaan pelanggaran yang dilakukan PT MER dan Yayasan MER (Misool Eco Resor) di Kabupaten Raja Ampat. Dugaan itu mencakup pelanggaran keimigrasian, pencucian uang, hingga pemalsuan dokumen pendidikan.
Dalam keterangan resminya yang diterima Redaksi iNewssorongraya.id, Kardinal menilai otoritas terkait, khususnya Imigrasi Sorong dan Polda Papua Barat Daya, tidak boleh menutup mata atas laporan-laporan yang sudah masuk.
“Bukan hanya soal izin tinggal, PT MER dan Yayasan MER diduga keras melakukan pelanggaran lebih berat, mulai dari pencucian uang sampai pemalsuan ijazah TK Baseftin Al-Ma’arif di Kampung Fafanlap. Ini harus segera diusut tuntas,” tegas Kardinal, Selasa (24/9/2025).
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah keberadaan Dorothea Nelson, WNA asal Amerika yang tetap bekerja di PT MER dan Yayasan MER meski disebut hanya memegang ITAP (Izin Tinggal Tetap). Menurut Kardinal, ITAP bukan izin untuk bekerja, apalagi menduduki jabatan strategis.
“Kalau memang benar DN mengantongi RPTKA dan IMTA, itu pun berlaku sangat spesifik untuk jabatan tertentu dan lokasi tertentu, bukan seenaknya bekerja di mana saja. Ini pelanggaran nyata,” jelasnya.
Kardinal juga menekankan perlunya pemanggilan Andrew Miners, warga negara asing asal Portugal yang disebut sebagai pemilik PT MER dan Yayasan MER. Ia menyebut Miners bertanggung jawab atas masuknya DN dan aktivitas perusahaan maupun yayasan yang didirikannya.
“Imigrasi Sorong dan penyidik Polda Papua Barat Daya harus berani memanggil Andrew Miners untuk mempertanggungjawabkan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan,” kata Kardinal.
Lebih jauh, Kardinal menyoroti laporan masyarakat terkait maraknya WNA yang bekerja ilegal di Raja Ampat. Banyak di antaranya disebut menggunakan visa turis atau visa on arrival.
“Ini sudah menjadi rahasia umum, ada ratusan WNA yang bekerja di Raja Ampat secara ilegal. Negara tidak boleh membiarkan praktik ini, karena jelas bertentangan dengan UU Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011,” pungkasnya.
Editor : Hanny Wijaya