Jalan Rusak Menghantam Mimpi Kampung Adat dan Wisata Malasigi, Juara Nasional yang Terisolasi

SORONG, iNewssorongraya.id – Sebuah ironi sedang terjadi di Kampung Adat Malasigi, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Desa adat yang baru saja masuk 50 Besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024 dan menerima SK Perhutanan Sosial dari Presiden, kini justru terjebak dalam keterisolasian. Penyebabnya bukan kurang prestasi atau minimnya potensi, melainkan jalan rusak parah yang memutus akses wisatawan dan menggerus sumber ekonomi utama warga.
“Jika kondisi jalan terus hancur dan kunjungan wisata terus dibatalkan, lalu kami mau bekerja apa untuk menghidupi keluarga kami?” keluh Menase Fami, Kepala Kampung Malasigi.
Kampung Malasigi dihuni masyarakat adat Moi Kelim (A’len) yang dikenal setia menjaga hutan mereka. Kawasan ini adalah habitat alami lima jenis burung Cenderawasih, magnet bagi wisatawan mancanegara. Tak hanya itu, Pemandian Air Panas Belempe dan Goa Wo’batiwala menjadi paket lengkap ekowisata berbasis kearifan lokal.
Pengakuan nasional melalui ADWI 2024 seharusnya menjadi loncatan emas. Namun fakta di lapangan berkata lain: jalan menuju kampung, khususnya jalur dari Tugu Merah, sudah setahun lebih tak bisa dilalui kendaraan. Akibatnya, dalam kurun Januari–Mei 2025, tercatat 50 trip wisatawan dibatalkan, menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari homestay, tur hutan, kerajinan noken, hingga pertunjukan tari adat.
Ironi semakin kentara ketika masyarakat Malasigi yang berkomitmen menjaga hutan sesuai SK Perhutanan Sosial, justru harus menanggung dampak kegagalan infrastruktur. Sebuah proyek perbaikan jalan dengan anggaran hampir Rp500 juta pada akhir 2023 ternyata hanya bertahan beberapa bulan. Jalan kembali rusak, dan hingga kini pemerintah kabupaten maupun provinsi belum memberi solusi nyata.
Kekecewaan warga berulang kali diluapkan, termasuk lewat aksi pemalangan jalan. Namun tanpa respons cepat, desa ini terancam mengulang nasib Kampung Tirang di Tegal, yang meski dilindungi, justru mengalami dampak sosial parah akibat akses terhambat.
Di tengah kevakuman negara, Pertamina EP Papua Field melalui program Desa Energi Berdikari (DEB) hadir sebagai penyelamat darurat. Bantuan PLTS berkapasitas 8,7 kWp memungkinkan warga memproduksi air bersih dan menghemat biaya hingga Rp36 juta per tahun. Bahkan, usaha olahan keripik pisang dan kerajinan tangan kini melipatgandakan pendapatan warga.
Namun, kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah inisiatif perusahaan swasta bisa menggantikan kewajiban negara dalam menyediakan infrastruktur dasar seperti jalan?
Kampung Malasigi kini benar-benar berada di persimpangan jalan—baik secara simbolis maupun nyata. Antara status “juara nasional” dengan kenyataan “desa terisolasi,” masyarakat berjuang agar tidak kembali bergantung pada eksploitasi hutan hanya demi bertahan hidup.
Ironi Malasigi adalah cermin dari tantangan pembangunan di daerah terpencil Indonesia: potensi dan pengakuan nasional tak ada artinya tanpa infrastruktur memadai. Jika pemerintah tak segera bergerak, bukan hanya pariwisata yang mati, tetapi juga harapan masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga terakhir hutan Papua.
Editor : Hanny Wijaya