Anggota DPR RI Desak Aparat Tegakkan Hukum Soal Dugaan Izin Reklamasi Palsu di Kota Sorong

SORONG, iNewssorongraya.id – Polemik dugaan pemalsuan dokumen izin reklamasi di Kota Sorong, Papua Barat Daya, semakin melebar ke ranah politik. Anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan Papua Barat Daya, Robert Joppy Kardinal, mendesak aparat penegak hukum segera turun tangan menyelidiki kasus yang mencuat di Pengadilan Negeri Sorong.
Desakan ini muncul usai sidang perkara perdata nomor 57/Pdt.G/2025/PN Son dengan penggugat Ronald L. Sanuddin melawan tergugat Samuel Hamonangan Sitorus, Labora Sitorus, dan Tinje Sambite. Sidang itu mengungkap keberadaan dokumen izin reklamasi seluas 12 hektar di wilayah Tampa Garam Suprau, yang diduga dipalsukan.
Menurut Robert, temuan di persidangan harus menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum.
“Itu sudah merupakan pengakuan saksi di persidangan. Alat bukti kan disumpah, jadi ini pintu masuk bagi aparat hukum untuk memeriksa semua dokumen reklamasi di Sorong. Dari Klalin sampai Rufei, periksa semua saja,” tegas Robert Joppy Kardinal.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi terkait izin reklamasi yang seharusnya mendapat rekomendasi resmi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Kalau mantan wali kota Lambertus Jitmau sudah bersumpah di pengadilan tidak pernah tanda tangan izin selain yang di Tembok, berarti izin lain itu palsu. Aparat harus bertindak, jangan dibiarkan,” tambahnya.
Sebelumnnya, dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Beauty Deitje Elisabeth Simatauw tersebut menghadirkan saksi kunci, mantan Wali Kota Sorong dua periode, Lambert Jitmau. Ia dihadirkan tergugat Labora Sitorus untuk memberikan keterangan soal asal-usul izin reklamasi.
Dalam persidangan, Lambert secara tegas membantah pernah menandatangani sejumlah surat izin reklamasi yang diajukan sebagai bukti oleh penggugat.
“Saya tidak pernah tanda tangan izin prinsip reklamasi di Tampa Garam Suprau. Yang ada hanya satu izin prinsip seluas 50 hektar di Tembok, itu pun jelas prosedurnya. Selain itu semua palsu,” ujar Lambert.
Ia menegaskan bahwa dokumen seperti SK Wali Kota Sorong nomor 188.45/122/2013, SK nomor 545/158/2014, serta izin reklamasi nomor 556.1/05/2016 bukanlah produk pemerintahannya.
“Saya baru tahu ada surat-surat itu sejak perkara ini bergulir di pengadilan. Pokoknya semua yang ada tanda tangan saya di luar izin di Tembok, itu palsu,” tandas Lambert.
Polemik ini bermula dari klaim kepemilikan tanah antara Ronald L. Sanuddin yang mengatasnamakan Paulus George Hung alias Mister Ting dengan dasar pelepasan tanah adat tahun 2013, melawan klaim Labora Sitorus yang mengantongi surat pelepasan tanah adat tahun 2003. Sengketa ini kemudian berkembang setelah muncul dokumen izin reklamasi yang dituding palsu.
Lambert Jitmau menegaskan, prosedur perizinan reklamasi semestinya diawali dengan permohonan resmi kepada wali kota, dilanjutkan kajian OPD terkait, sebelum izin prinsip diterbitkan. “Kalau ada pihak yang mengaku punya izin tanpa pernah datang bertemu saya langsung, itu jelas menyalahi aturan,” ujarnya.
Usai sidang, Lambert juga menyinggung soal kemungkinan langkah hukum lebih lanjut. Namun ia memilih menunggu proses perdata ini selesai.
“Tahap kedua nanti, setelah perkara perdata ini tuntas. Saya mantan pemimpin dua periode, saya ingin semua jelas dulu sebelum melangkah,” katanya.
Meski begitu, desakan politikus DPR RI agar aparat bergerak cepat semakin menekan pihak berwenang. Publik menilai kasus ini tidak sekadar sengketa tanah, melainkan bisa menjadi pintu masuk mengungkap mafia perizinan reklamasi yang merugikan negara dan masyarakat di pesisir Sorong.
Kasus ini menjadi penting karena menyangkut tata kelola ruang laut dan integritas birokrasi di tingkat daerah. Jika benar terjadi pemalsuan dokumen izin reklamasi, maka dampaknya tidak hanya pada sengketa tanah, tetapi juga merusak ekosistem pesisir dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor maupun masyarakat adat.
Dukungan politik dari DPR RI serta kesaksian mantan Wali Kota Sorong menambah bobot kasus ini. Aparat penegak hukum kini ditunggu langkah tegasnya agar praktik mafia tanah dan perizinan tidak terus berulang di Papua Barat Daya.
Editor : Hanny Wijaya