SORONG, iNewsSorong.id - Dewan Adat Suku Besar Moi secara resmi menolak rekomendasi yang diberikan oleh LMA Malamoi untuk Abdul Faris Umlati sebagai calon gubernur papua barat daya. Penolakan ini didasarkan pada prosedur adat dan struktur kewenangan di dalam masyarakat adat Moi.
Sebelumnya Silas Kalami, Ketua LMA Malamoi, menegaskan bahwa rekomendasi itu dikeluarkan sesuai dengan UU Otsus Tahun 2021. Ia menjelaskan bahwa AFU memiliki hubungan darah dengan Suku Moi Maya melalui ibunya, yang merupakan keturunan dari perempuan Moi Maya. Silas menekankan bahwa darah Papua mengalir dalam diri AFU dan tidak seharusnya diabaikan.
“ Konflik ini mencerminkan ketegangan antara interpretasi adat dan hukum yang berlaku dalam pencalonan politik di wilayah tersebut,” Ungkap Ketua Dewan Adat Suku Besar Moi, Paulus Kaflok Spahay Şafisa S.Th bersama anggota Dewan Adat dari 7 Sub Suku Besar Moi pada jump pers dengan wartawan di Kota Sorong, belum lama ini.
Selaku Ketua Dewan Adat Suku Besar Moi, Paulus, menegaskan bahwa surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Silas Kalami, Ketua LMA Malamoi, telah melanggar prosedur dan mekanisme adat. Ia menyatakan bahwa rekomendasi untuk Abdul Faris Umlati dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum adat yang berlaku, yang mengharuskan keputusan penting seperti dukungan politik dilakukan melalui sidang adat yang melibatkan semua tujuh sub suku di wilayah adat Moi.
“ Kami hadir mewakili Moi Kilim, Moi Abun, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, Moi Sigin, dan Moi Mayah. Sikap kami Suku Besar Moi terkait Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Silas Kalami. Kami perwakilan dari tujuh wilayah adat Suku Besar Moi, berkumpul hari ini untuk menyatakan penolakan keras terhadap rekomendasi yang diberikan oleh Silas Kalami kepada Alfaris Umlati sebagai syarat maju sebagai calon Gubernur,”tegas Paulus.
Paulus menjelaskan bahwa surat rekomendasi Nomor: 239/LMAM-Rek/VI/2024 yang diterbitkan pada 27 Agustus 2024 dianggap janggal karena tidak melalui proses musyawarah adat yang semestinya. Menurutnya, tindakan ini bertentangan dengan prinsip musyawarah dan mufakat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Moi.
“ (OAP) adalah mereka yang memiliki dusun adat, hukum adat, dan masyarakat adat yang lengkap. Seseorang dari suku lain hanya bisa diangkat melalui sidang adat yang resmi. Jika rekomendasi Ini diakui, kami menyatakan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) gagal. Bicara Otsus harus melibatkan Orang Papua dalam pengambilan keputusan penting, bukan malah menciptakan perpecahan di antara kami. Tegasnya
Selain itu, Paulus mempertanyakan klaim keturunan yang diajukan oleh Silas Kalami mengenai AFU sebagai keturunan Suku Moi Maya. Ia menegaskan bahwa kewenangan untuk mengeluarkan pernyataan semacam itu seharusnya ada di tangan Suku Besar Moi Maya Raja Ampat, bukan LMA Malamoi.
“ Dewan Adat Suku Besar Moi menolak surat rekomendasi tersebut secara tegas, menilai bahwa dokumen itu "cacat" baik secara administratif maupun berdasarkan hukum adat yang berlaku,” tegas Paulus Kaflok Spahay Şafisa S.Th.
Menurut Paulus, sikap Suku Besar Moi terkait rekomendasi Silas Kalami menunjukkan penolakan tegas terhadap proses yang dianggap tidak sah dan cacat hukum. Mereka menekankan pentingnya melalui sidang adat yang resmi untuk pengangkatan perwakilan, serta mengekspresikan kekhawatiran bahwa pengakuan rekomendasi tersebut dapat memperburuk keadaan Otonomi Khusus (Otsus) yang seharusnya melibatkan keterlibatan Orang Papua dalam pengambilan keputusan.
“ Penolakan ini mencerminkan keinginan untuk menjaga integritas dan kesatuan masyarakat adat,”ujarnya.
Paulus mengungkapkan, pernyataan dan tuntutan dari Suku Moi terkait masalah hukum adat dan persatuan di Papua. Paulus menegaskan komitmen untuk tidak mengorbankan nilai-nilai dan hak-hak mereka demi uang atau jabatan, serta menyerukan tindakan tegas dari Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk menjaga keharmonisan masyarakat Papua.
“ Selain itu, ada penekanan pada pentingnya hukum adat sebagai hukum tertinggi dalam komunitas mereka dan penolakan terhadap rekomendasi yang dianggap merugikan,”ungkapnya.
Melihat dinamika yang terjadi, Paulus mengatakan pentingnya peran Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural bagi Orang Asli Papua. Dia mengingatkan MRP tentang kewenangannya dalam melindungi hak-hak politik masyarakat Papua, terutama dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Dengan merujuk pada pengalaman MRP Papua pada tahun 2005 yang tidak memberikan persetujuan kepada calon yang bukan Orang Asli Papua, Paulus mendorong MRP Papua Barat Daya untuk mengambil langkah serupa sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak politik Orang Asli Papua.
“ Ini menunjukkan komitmen untuk memastikan bahwa pemimpin daerah mencerminkan identitas dan kepentingan masyarakat lokal,”terangnya.
Paulus juga menyoroti pentingnya peran Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya dalam melindungi hak-hak politik Orang Asli Papua (OAP) dan menegaskan perlunya tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang mencoba merampas hak-hak tersebut.
“ Dewan Adat Suku Besar Moi menekankan bahwa pengakuan OAP harus melibatkan proses yang menyeluruh dan partisipatif, serta menjaga integritas dan kearifan lokal,”tegasnya.
Selain itu, menurut Paulus ada pengakuan akan adanya perbedaan pandangan di dalam masyarakat adat Moi mengenai isu pengakuan OAP, yang menunjukkan perlunya dialog konstruktif untuk mencapai kesepakatan.
Ketiadaan tanggapan resmi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi dan Abdul Faris Umlati terkait penolakan ini menjadi perhatian publik, yang berharap agar permasalahan ini dapat diselesaikan dengan cara yang damai dan adil.
Editor : Chanry Suripatty