Forum Lintas Suku Papua Desak Polda PBD Tuntaskan Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Pejabat Raja Ampat

STEVANI GLORIA
Forum Lintas Suku OAP saat menggelar jumpa pers kepada wartawan.

 

SORONG KOTA, iNewssorongraya.id  — Forum lintas suku asli Papua di Provinsi Papua Barat Daya mendesak Kepolisian Daerah Papua Barat Daya menuntaskan penyelidikan dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang menyeret seorang pejabat Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Desakan ini muncul setelah korban resmi melapor dan proses pemeriksaan terhadap terlapor telah dimulai.

Wakil Ketua Perkumpulan Lintas Suku Asli Papua sekaligus Kepala Suku Besar Biak Papua Barat Daya, Hengki Korwa, menyatakan dukungan penuh kepada Lembaga Bantuan Hukum Kasih Indah Papua, aktivis perempuan, serta keluarga korban yang mendampingi proses hukum.

“Kami menyampaikan kepada Kapolda Papua Barat Daya supaya segera dituntaskan secara terang benderang,” ujarnya di Kota Sorong, Jumat malam (28/11/2025).

Hengki menegaskan bahwa masyarakat Papua menginginkan penanganan hukum yang setara, transparan, dan tidak memihak.
“Karena negara ini adalah negara hukum, maka apa yang tengah ditangani Kapolda dan jajaran harus memperhatikan unsur keadilan,” katanya.

Ia menambahkan bahwa publik berhak mengetahui perkembangan kasus, terlebih karena dugaan kekerasan seksual melibatkan pejabat aktif.
“Publik mulai dari masyarakat akar rumput hingga masyarakat ‘kaki baabu’ perlu mengetahui proses penanganan kasus ini dan kebenaran tindakan asusila YS terhadap anak angkatnya sendiri,” tegasnya.

Laporan korban tercatat pada Nomor: LP/B/23/XI/2025/SPKT/Polda Papua Barat tanggal 5 November 2025. Kuasa hukum korban, Yance Dasnarebo, menjelaskan bahwa peristiwa diduga terjadi pada 21 September 2025 di kediaman terlapor, YS, di kawasan Harapan Indah Kilometer 12, Kota Sorong.

Menurut kuasa hukum, korban awalnya diminta memijat kaki terlapor di dalam kamar sebelum kemudian mengalami tindakan yang tidak diinginkan.

Dari informasi yang diperoleh, YS—yang menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Raja Ampat—telah dipanggil dan diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Papua Barat Daya pada Kamis, 27 November 2025.

“Sementara terlapor sedang diperiksa di Reskrimum, yang bersangkutan diperiksa penyidik kurang lebih tiga jam,” ungkap seorang sumber internal Polda Papua Barat Daya.

Sebelumnya, puluhan aktivis perempuan melakukan demonstrasi di depan Kantor Polda Papua Barat Daya, Selasa (26/11/2025). Aksi tersebut menuntut aparat segera mengambil langkah hukum terhadap YS.

Koordinator aksi, Nova Sroer, meminta Polda bertindak cepat dan tegas.
“Tuntutan kami yang pertama, segera menangkap oknum pelaku kekerasan seksual terhadap korban. Kedua, kami berharap Polda Papua Barat Daya serius menangani kasus ini hingga menetapkan status tersangka kepada oknum Sekda Raja Ampat,” katanya.

Ia menuntut proses penyelidikan dibuka secara transparan.
“Informasi penyelidikan harus dibuka secara umum agar masyarakat bisa mengikuti perkembangan kasus. Tujuan kami adalah korban mendapatkan keadilan,” tegasnya.

Aktivis perempuan lainnya, Novita Klasjok, menekankan bahwa dugaan kekerasan seksual ini merupakan persoalan serius.
“Ini masalah serius dan tidak boleh dianggap main-main. Kami akan kawal sampai tersangka diadili sesuai hukum,” ujarnya.

Tokoh perempuan Suku Maya Raja Ampat, Ludya Mentansan, juga mendesak aparat menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Pelaku harus ditangkap dan dijadikan tersangka. Negara tidak boleh melindungi kejahatan seksual oleh pejabat,” katanya.

Menurutnya, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 wajib diterapkan demi memberikan perlindungan maksimal kepada korban.
“Ini menyangkut harga diri perempuan Papua yang dijunjung tinggi dalam adat,” tambahnya.

Massa aksi menegaskan komitmen mengawal proses hukum hingga ada kepastian bagi korban. Berikut tuntutan mereka:

  1. Polda Papua Barat Daya segera memanggil dan memeriksa terlapor YS tanpa penundaan.
  2. Memberikan perlindungan maksimal kepada korban dan saksi dari intimidasi.
  3. Mengusut dugaan tekanan terhadap korban maupun pihak yang menghalangi proses hukum.
  4. Mempercepat penyelidikan sesuai prinsip profesional, transparan, dan akuntabel sesuai UU TPKS.
  5. Menyampaikan perkembangan resmi penyidikan kepada publik.
  6. Menindak tegas oknum aparat yang melanggar etik atau hukum selama penanganan kasus.

Dalam kasus kekerasan seksual, lembaga pendamping korban mengingatkan bahwa proses yang terbuka, perlindungan terhadap korban, serta pemeriksaan yang bebas intimidasi merupakan bagian penting dari pemenuhan hak korban.

Kasus ini kini menjadi perhatian publik Papua Barat Daya karena melibatkan pejabat strategis, sementara korban adalah perempuan muda yang membutuhkan dukungan psikologis, hukum, dan perlindungan jangka panjang.

Editor : Chanry Suripatty

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network