SORONG, iNewssorongraya.id — Tindakan pembakaran mahkota Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua pada Selasa (21/10/2025) menuai sorotan tajam dari tokoh adat di Tanah Papua.
Ketua Ikatan Keluarga Besar Su (IKBS) se-Sorong Raya sekaligus Kepala Suku Moi di Kabupaten Raja Ampat, Christofel Su, menilai langkah itu sebagai tindakan yang tidak memahami nilai sakral budaya Papua dan menimbulkan luka mendalam bagi masyarakat adat.
Menurut Christofel Su, mahkota Cenderawasih memiliki arti spiritual dan sosial yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Papua. Ia menegaskan, mahkota tersebut bukan sekadar hiasan, tetapi simbol kehormatan, identitas, dan warisan leluhur yang diwariskan turun-temurun kepada para kepala suku di seluruh Tanah Papua.
“Mahkota dianggap sebagai simbol kehormatan dan kebesaran, melambangkan kekuatan spiritual dan kesetiaan terhadap tradisi leluhur,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, mahkota Cenderawasih melambangkan perempuan Papua sebagai ibu hutan, serta menjadi representasi burung surga, keindahan alam, dan kedudukan sosial dalam masyarakat adat.
Dalam setiap upacara adat dan penyambutan tamu kehormatan, mahkota ini menjadi simbol kemakmuran dan kehormatan Bangsa Papua. Karena itu, pembakarannya dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai luhur budaya.
Christofel Su mengakui bahwa niat BBKSDA Papua untuk melindungi satwa langka seperti burung Cenderawasih sebenarnya baik, namun cara yang diambil dinilainya salah arah dan tanpa pertimbangan adat.
“Kami tahu maksud BKSDA adalah menjaga kelestarian Burung Surga agar tidak punah, tetapi mereka mengambil keputusan yang salah dengan membakar sesuatu yang amat sakral,” tegasnya.
Ia menilai, sebelum mengambil tindakan seperti itu, BKSDA seharusnya berkoordinasi dengan lembaga-lembaga adat seperti Dewan Adat Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Otsus, atau tokoh masyarakat setempat. Langkah tersebut penting agar setiap kebijakan yang menyentuh ranah budaya tidak menyinggung dan melukai perasaan masyarakat adat.
“Harusnya mereka berkonsultasi dulu dengan lembaga adat, kepala suku, dan tokoh masyarakat agar tidak terjadi hal seperti ini yang akhirnya mendulang kecaman dari berbagai pihak di seluruh Tanah Papua,” kata Christofel Su.
Ia juga menekankan bahwa kehadiran TNI/Polri dalam kegiatan tersebut kemungkinan hanya sebagai tamu undangan, bukan pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemusnahan.
Christofel Su meminta BBKSDA Papua segera menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada masyarakat Papua atas tindakan yang dinilai telah melecehkan simbol adat tersebut.
“Kami berharap instansi pemerintah ke depan lebih mempertimbangkan aspek budaya dan sosial sebelum melakukan kegiatan yang menyangkut adat istiadat Papua,” ujarnya.
Ia juga menyerukan agar setiap kegiatan resmi yang berkaitan dengan adat, budaya, dan sosial masyarakat Papua, selalu melibatkan lembaga adat, MRP, dan tokoh masyarakat agar tidak menimbulkan keresahan.
Sementara itu, Kepala BBKSDA Papua Johny Santoso dalam klarifikasi terkait polemik yang terjadi, menjelaskan bahwa pemusnahan aksesori Cenderawasih dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, yaitu Permen LHK Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017 tentang Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Pemusnahan dilakukan sesuai aturan, dengan pertimbangan hasil kesepakatan tim patroli terpadu dan permintaan kelompok masyarakat pemilik benda agar tidak disalahgunakan,” ujar Johny dalam keterangan pers di Kantor BBKSDA Abepura, Rabu (22/10/2025).
Ia menegaskan bahwa langkah itu diambil untuk memutus rantai perdagangan ilegal satwa dilindungi, khususnya burung Cenderawasih, serta menegakkan hukum yang berlaku. Namun, ia juga menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas dampak sosial dan kultural yang ditimbulkan.
“Kami menyadari tindakan tersebut menimbulkan luka dan kekecewaan di hati masyarakat Papua. Dengan penuh rasa hormat, kami menyampaikan permohonan maaf yang tulus. Tujuan kami bukan melecehkan nilai budaya, melainkan menjaga kelestarian Burung Surga sebagai simbol identitas masyarakat Papua,” jelas Johny.
Johny menjelaskan bahwa pemusnahan tersebut merupakan bagian dari kegiatan Patroli dan Pengawasan Terpadu terhadap peredaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) ilegal serta tindak pidana kehutanan (Tipihut) di Provinsi Papua.
Operasi itu digelar pada 15–17 Oktober 2025, mencakup wilayah Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Keerom, melibatkan 74 personel lintas instansi, termasuk kepolisian, TNI, Dinas Kehutanan, Balai Karantina, serta otoritas pelabuhan dan bandara.
Kasus pembakaran mahkota Cenderawasih ini memperlihatkan benturan antara upaya konservasi satwa dengan penghormatan terhadap nilai budaya lokal. Meski dimaksudkan untuk menegakkan hukum dan melindungi burung Cenderawasih, tindakan tersebut meninggalkan luka simbolik di hati masyarakat Papua.
Masyarakat adat berharap setiap kebijakan konservasi di tanah Papua ke depan lebih sensitif terhadap nilai-nilai budaya dan kearifan lokal agar pelestarian alam dapat berjalan beriringan dengan penghormatan terhadap adat istiadat.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait
