SORONG, iNewssorongraya.id – Gelombang penolakan kembali mengemuka terhadap rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah Papua Barat Daya. Kali ini, Dewan Adat Suku Besar Moi menyatakan sikap tegas menolak pembangunan industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit yang diajukan oleh PT Fajar Surya Persada Group dengan total luas lahan mencapai 98.824,97 hektare dan nilai investasi sebesar Rp 24 triliun.
Proyek yang dimaksud akan mencakup pembangunan industri pangan dan biodiesel di atas lahan adat yang tersebar di Distrik Seget, Salawati, Klaso, hingga Kabupaten Tambrauw. Penolakan ini digaungkan dalam konferensi pers pada Kamis (5/6/2025) di Sekretariat Belantara Papua, Sorong, bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
“Hutan bagi kami adalah ibu. Di situlah kami hidup, meramu, dan menjalankan tradisi. Kalau hutan hilang, kami kehilangan segalanya,” ujar Pdt. Isak Kwatolo, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya.
Kwatolo menilai proyek sawit yang selama ini dipaksakan negara, tak pernah memberikan manfaat nyata bagi orang asli Papua (OAP). Justru, kerusakan lingkungan dan pencaplokan tanah adat menjadi konsekuensi yang terus membayangi.
Surat resmi dari PT Fajar Surya Persada bernomor 002/FSP-JKT/III/2025 tertanggal 27 Maret 2025, telah dikirimkan ke Gubernur Papua Barat Daya untuk meminta dukungan menjadikan proyek ini sebagai bagian dari PSN. Surat tersebut menyebutkan keterlibatan sejumlah perusahaan dalam konsorsium dengan rincian luas areal dari 12.000 hingga 18.000 hektare, menjadikan Pulau Papua sebagai target utama ekspansi industri sawit nasional.
Namun, bagi masyarakat adat Moi, realitas di lapangan berbicara lain. Ayub Paa, pemuda adat Moi, mengungkapkan sejumlah dampak nyata dari industri sawit yang sudah lebih dahulu beroperasi, seperti PT Henrison Inti Persada, PT Inti Kebun Sejahtera, PT Inti Kebun Sawit, dan PT Sorong Global Lestari.
“Sungai Klasafet di Kampung Malalugis meluap setinggi lima meter pada 2023 karena hutan digunduli. Sungai Klamono juga tercemar limbah sawit hingga ikannya mati,” ungkap Ayub.
Ia juga menuding perusahaan telah melakukan “pembodohan” terhadap masyarakat adat melalui janji-janji pembagian hasil plasma 20:80 yang hingga kini tak terealisasi. “Sudah lebih dari 20 tahun masyarakat menunggu sertifikat plasma. Tapi nihil. Janji tinggal janji,” tambahnya.
Penolakan ini juga didasarkan pada rekam jejak buruk perusahaan sawit dalam memenuhi tanggung jawab sosial. Infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, dan listrik pun belum kunjung terpenuhi di banyak wilayah konsesi.
Atas dasar itu, Dewan Adat Suku Besar Moi mendesak Gubernur Papua Barat Daya untuk tidak memberikan dukungan terhadap permohonan PSN oleh PT Fajar Surya Persada. Mereka juga meminta Presiden RI dan Menteri Investasi/BKPM untuk tidak lagi menjadikan masyarakat adat sebagai korban proyek industri skala besar.
Konferensi pers ditutup dengan penandatanganan pernyataan penolakan bersama oleh Dewan Adat, MRP, tokoh adat, dan pemuda Moi. Mereka menyerukan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari penghormatan terhadap konstitusi dan lingkungan hidup.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait