SORONG, iNewssorongraya.id - Papua, tanah yang kaya akan budaya, sumber daya alam, dan keindahan alam yang tak terperi. Namun, di balik pesonanya, Papua juga sering dikaitkan dengan konflik berkepanjangan yang mengiris hati anak bangsa. Dalam kisah ini, kita akan menyusuri jejak perjalanan seorang jurnalis televisi, Chanry Suripatty, pria berdarah Maluku kelahiran Jayapura, Papua, 48 tahun silam. Sejak tahun 2002, ia mengabdikan dirinya sebagai saksi peristiwa, merekam dan menyiarkan dinamika di tanah kelahirannya yang kerap bergejolak.
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik di wilayah pedalamam pegunungan tengah Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
Menjadi Mata dan Suara Papua
Sebagai seorang jurnalis. Chanry Suripatty memahami kegelisahan rakyat Papua dalam mengharapkan keadilan. Dua dekade lebih ia menghabiskan waktunya sebagai seorang jurnalis untuk meliput berbagai peristiwa di Papua, mulai dari aksi demonstrasi, bentrokan bersenjata, hingga kisah-kisah inspiratif masyarakat adat yang tetap bertahan dengan kearifan lokalnya.
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik di wilayah pedalamam pegunungan tengah Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
"Saya ingin dunia melihat Papua bukan hanya dari sisi konflik, tetapi juga dari sisi harapan, keberagaman, dan kekayaan budaya yang luar biasa," ujar Chanry dalam suatu wawancara eksklusif. Ia percaya bahwa narasi tentang Papua harus lebih berimbang, bukan hanya soal darah dan air mata, tetapi juga tentang damai, pembangunan, dan masa depan yang lebih baik.
Menjadi Jurnalis di Tanah Papua: Tekanan dan Tantangan
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik di wilayah pedalamam pegunungan tengah Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
Menjadi jurnalis di Papua bukanlah perkara mudah. Tekanan dan intimidasi dari berbagai pihak, baik dari militer maupun kelompok yang berbeda ideologi, sering kali menjadi bagian dari tugas yang harus dihadapi. Chanry mengalami sendiri bagaimana sulitnya memberitakan isu-isu Papua secara objektif ketika aspirasi Papua Merdeka terus bergema di tengah masyarakat.
Kini, sebagai Pemimpin Redaksi sebuah media nasional di Papua, Chanry memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga keseimbangan berita. "Ada banyak tantangan dalam meliput isu Papua. Kita harus sangat hati-hati dalam menulis berita, karena tekanan datang dari berbagai arah. Namun, tugas jurnalis adalah tetap mengungkap kebenaran dan memberikan informasi yang berimbang kepada publik," ujar Chanry.
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik di wilayah pedalamam pegunungan tengah Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
Keberanian dalam menjalankan profesi ini membuatnya sering berada dalam situasi yang sulit. Namun, ia tetap teguh pada prinsip bahwa jurnalistik harus menjadi jembatan informasi, bukan alat propaganda dari pihak manapun.
Momen yang Menggemparkan: Pengibaran Bintang Kejora 2008
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik tentang konflik di Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
Salah satu peristiwa yang paling menggemparkan dalam perjalanan jurnalistik Chanry adalah pemberitaannya tentang pengibaran bendera Bintang Kejora di sebuah kantor pemerintahan di Jayapura pada tahun 2008. Berita itu membuatnya menghadapi tekanan yang luar biasa, termasuk tuduhan bahwa ia bekerja sama dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua.
"Semua tuduhan, tekanan, bahkan pembunuhan karakter terhadap saya, saya hadapi dengan senyuman. Karena bagi saya, itu adalah bagian dari risiko dalam menjalankan tugas jurnalistik. Fakta tidak dapat ditampilkan dengan berbagai hiasan. Apa yang terjadi di lapangan harus diberitakan sebagaimana adanya," tutur Chanry.
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik di wilayah pedalamam pegunungan tengah Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
Semua tuduhan itu pun tidak terbukti. Baginya, pemberitaan tersebut adalah murni karya jurnalistik dan bentuk tanggung jawab kepada negara, bahwa masih ada luka yang perlu disembuhkan. "Jika tidak ada keadilan yang tulus, rakyat Papua akan terus meneriakkan kemerdekaan," tegasnya.
Memahami Konflik Papua: Bukan Sekadar Soal Senjata
Selama bertugas, Chanry menyaksikan sendiri bagaimana ketidakadilan ekonomi, ketimpangan pembangunan, dan minimnya komunikasi antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal menjadi akar dari konflik yang terus berulang di Papua. Banyak masyarakat Papua merasa diabaikan, merasa tidak memiliki kendali atas tanah kelahiran mereka sendiri. Padahal, Papua bukan anak tiri republik ini. Papua adalah bagian sah dari NKRI yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dalam segala aspek kehidupan.
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik di wilayah pedalamam pegunungan tengah Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
"Konflik Papua bukan sekadar soal senjata dan perlawanan. Ini adalah soal kepercayaan dan harga diri yang harus dipulihkan," kata Chanry.
Menyelesaikan Konflik Papua dengan Pendekatan Humanis
Bagaimana seharusnya negara menyelesaikan konflik di Papua secara damai? Ada tiga pendekatan yang menurut Chanry dan banyak pemerhati Papua dapat menjadi solusi efektif:
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik di Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
- Dialog yang Jujur dan Terbuka Pemerintah harus lebih sering mendengar suara masyarakat Papua, bukan hanya dari elit politiknya tetapi juga dari akar rumput. Percakapan harus dimulai dengan kesetaraan, bukan dengan ancaman dan tekanan.
- Pembangunan yang Berkeadilan Papua adalah tanah yang kaya, tetapi kesejahteraan rakyatnya masih jauh dari harapan. Negara harus memastikan bahwa pembangunan ekonomi dan pendidikan di Papua berjalan dengan baik dan memberi dampak langsung bagi masyarakat asli.
- Menghormati Kearifan Lokal dan Budaya Papua Banyak kebijakan yang diterapkan di Papua tidak sesuai dengan adat dan budaya setempat. Negara harus hadir dengan kebijakan yang lebih sensitif terhadap kearifan lokal agar masyarakat merasa dihargai dan dilibatkan dalam pembangunan.
Papua Adalah Tanah Damai
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik di pedalaman Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
Papua tidak selalu tentang konflik, tidak selalu tentang luka. Di tengah semua gejolak, ada kedamaian yang masih bersemayam di hati masyarakatnya. Papua adalah tanah yang dijanjikan, tanah yang kaya akan sumber daya, tanah yang penuh dengan susu dan madu.
Chanry Suripatty saat melakukan tugas jurnalistik di wilayah pedalamam pegunungan tengah Papua. (FOTO : Dok Pribadi)
Di sisa hidupnya, Chanry yang telah mewakafkan dirinya menjadi seorang jurnalis, akan tetap konsisten untuk menulis tentang Papua dengan mengedepankan jurnalisme damai dan jurnalisme positif. Ia ingin dunia mengenal Papua bukan karena konflik, tetapi karena keindahan dan kedamaiannya yang sesungguhnya. Papua akan menjadi rumah bagi mereka yang mencintainya, dan orang Papua akan menjadi tuan di negerinya sendiri, dalam bingkai persatuan Indonesia yang sejati.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait