Kelapa, Keringat, dan Keteguhan: Angganita Burdam, Simbol Perempuan Papua Hebat di Pantai Reklamasi

SORONG KOTA, iNewssorongraya.id - Sinar jingga senja di Pantai Tembok Berlin, Kota Sorong, perlahan mulai memantul di wajah keriput Angganita Burdam. Di bawah atap terpal berwarna biru sederhana, tangan tuanya tak henti menata kelapa muda yang baru diangkut dari Pulau Sop. Di balik setiap buah kelapa yang dijualnya, tersimpan kisah perjuangan panjang seorang ibu Papua yang menolak menyerah pada waktu dan perubahan.
Sore itu, sekitar pukul 16.00 WIT, Angganita Burdam (62) tampak sibuk menyusun dagangan di lapak kecilnya di kawasan reklamasi Pantai Tembok Berlin, Sorong, Papua Barat Daya. Suara debur ombak yang kini terhalang daratan reklamasi tak mampu menenggelamkan semangatnya. “Hari tanpa bekerja, bagi saya, sama dengan hari tanpa harapan,” ujarnya, Rabu [15/10/20250, sambil tersenyum lelah.
Setiap hari, sejak matahari naik hingga senja menua, ia berdagang bersama sang suami, Dortehus Rumbewas (70), yang juga seorang nelayan. Keduanya melayani pembeli—kebanyakan warga Sorong yang datang setelah bekerja atau berolahraga sore. “Kalau cuaca panas, sehari bisa 30 sampai 40 buah. Keuntungan kalau cuaca bagus bisa Rp500 ribu sampai Rp600 ribu. Kalau cuaca jelek, ya sekitar Rp300 ribu,” tutur Angganita lirih.
Angganita berasal dari Pulau Sop, wilayah kecil di sekitar Teluk Sorong. Ia telah berdagang kelapa muda jauh sebelum proyek reklamasi Pantai Tembok Berlin dimulai. Dulu, lapaknya berdiri tepat di tepi laut; kini, ia berdagang di atas hamparan daratan buatan. Bersama sang suami, ia tetap bertahan di lokasi itu.
Dortehus, yang biasanya melaut, kini ikut membantu mencari dan mengangkut kelapa dari kebun di pulau. “Kebun sendiri ada juga, tapi kalau permintaan banyak kami beli juga di warga sekitar,” katanya. Proses pengangkutan kelapa dari Pulau Sop ke Sorong menggunakan perahu motor tempel, dengan biaya yang tak sedikit. “Harga per buah Rp15 ribu, sudah termasuk biaya angkut dan retribusi sampah,” tambah Angganita.
Reklamasi Pantai Tembok Berlin yang kini disebut bagian dari proyek Sorong Modern City membawa perubahan besar. Kawasan yang dulu dipenuhi aroma laut kini berubah menjadi jalur beton, ruang publik, dan deretan warung semi permanen. Namun, di balik wajah modernisasi itu, pedagang kecil justru berjuang agar tak tersingkir.
“Sejak kami berjualan, tidak ada bantuan dari Pemda ke pedagang OAP (Orang Asli Papua),” keluh Angganita. Ia berharap pemerintah hadir dengan solusi nyata, bukan sekadar pembangunan fisik. “Kami cuma mau tempat yang layak dan bisa terus jualan tanpa takut digusur,” ujarnya pelan.
Pemerintah daerah dan pengembang proyek memandang kawasan reklamasi ini sebagai potensi wisata dan ruang bisnis baru. Pemandangan senja di Tembok Berlin kini memang menarik banyak pengunjung. Namun, di sisi lain, banyak pedagang merasa kehilangan akses langsung ke laut dan pelanggan lama mereka.
Beberapa pihak menilai, jika reklamasi ingin benar-benar membawa kemakmuran, maka pelaku ekonomi mikro harus dilibatkan dalam perencanaan ruang. Lapak semi permanen yang tertata, fasilitas air bersih, serta dukungan transportasi bahan baku akan menjadi bentuk nyata perhatian terhadap mama-mama Papua yang menjaga denyut ekonomi rakyat di kawasan ini.
Meski penghasilan tak menentu dan tenaga makin menipis, Angganita tetap berjuang. “Kalau cuaca bagus kami bisa untung. Kalau tidak, itu risiko dagang,” ucapnya dengan nada pasrah namun tegar. Setiap keuntungan, sekecil apa pun, disisihkan untuk membantu cucu-cucunya bersekolah. Keenam anaknya kini sudah dewasa, dan semangat kemandirian itu ia wariskan melalui ketekunan.
Ia bermimpi suatu hari kawasan Tembok Berlin benar-benar ramai oleh wisatawan, bukan hanya menjadi tempat nongkrong sementara. “Kalau ramai terus, kami juga bisa ikut hidup,” katanya, menatap langit senja yang mulai meredup.
Di balik lapak sederhana dan suara riuh pembeli, ada harapan besar yang ia jaga: agar perjuangan pedagang seperti dirinya tak sia-sia di tengah pembangunan kota. Bagi Angganita, setiap kelapa muda yang terjual adalah simbol perjuangan—sebuah bentuk cinta pada keluarga, pada tanah kelahiran, dan pada kehidupan yang terus berubah.
“Yang penting tetap kerja, tetap jualan. Selama masih bisa berdiri, saya akan terus di sini,” tutupnya.
Kisah Angganita Burdam adalah cermin dari semangat mama-mama Papua yang menjaga asa di garis depan perubahan. Mereka bukan hanya pedagang kecil, melainkan penjaga wajah kemanusiaan kota yang terus tumbuh.
Di tengah geliat modernisasi Sorong, Angganita berdiri tegak—mengingatkan bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari tinggi gedung atau panjang reklamasi, melainkan dari sejauh mana pembangunan itu masih memeluk mereka yang berjuang dengan keringat dan cinta di bawah terpal sederhana.
Editor : Hanny Wijaya