MERAUKE, iNewsSorong.id — Di tengah keheningan Dusun Payum, Kabupaten Merauke, teriakan penolakan dari masyarakat adat menggema. Suku Malind, Maklew, Mayo Bodol, Kimahima, dan Yei, sebagai pemilik hak ulayat, menolak tegas Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dianggap merampas tanah dan ruang hidup mereka.
Pertemuan adat “Munggui Makan Malind Sasi Mayan” yang digelar pada Minggu (6/10/2024), menjadi panggung bagi masyarakat adat untuk menyuarakan keberatan mereka terhadap proyek cetak sawah serta swasembada gula dan bioetanol.
Masyarakat adat Suku Malind, Maklew, Mayo Bodol, Kimahima, dan Yei, sebagai pemilik hak ulayat, menolak tegas Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dianggap merampas tanah dan ruang hidup mereka. (FOTO: iNewsSorong.id - HO : YLBHI LBH Papua Pos Merauke)
Ketua Forum Masyarakat Adat Malind Kondo-Digul, Simon Petrus Balagaize, menegaskan bahwa aksi penolakan telah berlangsung sejak April 2024 melalui ritual adat di kampung-kampung, namun suara mereka diabaikan.
" Kami sebagai masyarakat Adat secara sadar dan terbuka telah menolak proyek berskala luas tersebut beroperasi ditatas tanah adat kami yang dibuktikan dengan melakukan ritual adat penolakan di kampung-kampung atas kehadiran Program tersebut. Selain itu telah terbukti bahwa kehadiran proyek tersebut tanpa mengikuti mekanisme penanaman modal, serta penyediaan tanah ulayat sesuai ketentuan “ ungkap Simon Petrus Balagaize.
Pelanggaran Hak Adat
Masyarakat adat Suku Malind, Maklew, Mayo Bodol, Kimahima, dan Yei, sebagai pemilik hak ulayat, menolak tegas Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dianggap merampas tanah dan ruang hidup mereka. (FOTO: iNewsSorong.id - HO : YLBHI LBH Papua Pos Merauke).
Teddy Wakum, Ketua YLBHI LBH Papua Pos Merauke sekaligus juru bicara Solidaritas Merauke, mengungkapkan adanya pelanggaran ketentuan hukum oleh pemerintah. Wakum menyatakan bahwa pemerintah tidak mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Dia menyoroti bahwa perundingan terkait proyek ini tidak melibatkan masyarakat adat, melanggar hak mereka dalam musyawarah penyediaan tanah ulayat. "Penyerobotan tanah dan penggusuran paksa di Distrik Ilwayab adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi," tegas Wakum dalam siaran persnya yang diterima Redaksi iNewsSorong.id, Selasa (8/10/1024).
Masyarakat adat Suku Malind, Maklew, Mayo Bodol, Kimahima, dan Yei, sebagai pemilik hak ulayat, menolak tegas Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dianggap merampas tanah dan ruang hidup mereka. (FOTO: iNewsSorong.id - HO : YLBHI LBH Papua Pos Merauke).
Sikap Tegas Masyarakat Adat
Dalam pernyataan sikapnya, Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digul dan Solidaritas Merauke mendesak pemerintah untuk:
1. Mematuhi Pasal 42 ayat (2) UU Otonomi Khusus Papua.
2. Menghentikan PSN Merauke di wilayah adat yang menolak.
3. Tidak melibatkan lembaga adat palsu yang mengatasnamakan masyarakat adat.
4. Menarik mundur anggota militer dari proyek untuk menghindari intimidasi terhadap masyarakat adat.
5. Mendesak PT. Jhonlin Group menghentikan aktivitas di wilayah adat suku Maklew.
Masyarakat adat juga kecewa dengan pernyataan Uskup Agung Merauke yang dinilai tidak mendukung hak mereka. Selain itu, mereka mengharapkan pemerintah daerah segera membuat peraturan yang melindungi hak-hak masyarakat adat.
Masyarakat adat Suku Malind, Maklew, Mayo Bodol, Kimahima, dan Yei, sebagai pemilik hak ulayat, menolak tegas Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dianggap merampas tanah dan ruang hidup mereka. (FOTO: iNewsSorong.id - HO : YLBHI LBH Papua Pos Merauke).
Harapan dan Tantangan
Para pemimpin adat menekankan pentingnya perlindungan terhadap ruang hidup dan sumber penghidupan perempuan dan anak yang terancam oleh proyek ini. Mereka juga mendesak calon presiden Prabowo Subianto untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat guna memberikan perlindungan hukum lebih lanjut.
Pertemuan ini sekaligus menegaskan keteguhan hati masyarakat adat dalam mempertahankan hak mereka. Namun, tantangan besar masih menghadang di depan, terutama dalam memastikan pemerintah mendengarkan dan menghormati hak-hak mereka.
Editor : Chanry Suripatty