SORONG KOTA, iNewssorongraya.id — Kasus dugaan keracunan makanan bergizi gratis (MBG) yang menimpa puluhan pelajar di Waisai, Kabupaten Raja Ampat, memicu desakan politik dari tingkat nasional. Senator DPD RI asal Papua Barat Daya, Hartono, mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait untuk segera melakukan langkah cepat, terukur, dan transparan dalam menangani insiden yang terjadi pada Senin (1/12/2025) tersebut.
Hartono menegaskan bahwa keselamatan pelajar harus menjadi prioritas utama pemerintah. Ia menilai respon medis yang cepat adalah langkah krusial yang tidak boleh ditunda.
“Sebagai anggota Komite III yang salah satunya membidangi pengawasan sektor kesehatan, khususnya program MBG, saya minta agar langkah-langkah medis segera dilakukan untuk para korban. Ini situasi kedaruratan yang harus ditangani cepat,” ujar Hartono melalui sambungan telepon setibanya di Bandara Jakarta, Senin malam.
Selain meminta percepatan layanan kesehatan, Hartono memastikan Komite III DPD RI akan berkoordinasi dengan Badan Gizi Nasional (BGN) pusat dan daerah untuk menelusuri penyebab dugaan keracunan massal itu.
“Kami akan berkoordinasi dengan BGN baik di pusat maupun daerah, satgas MBG, juga instansi pengawasan lainnya, untuk mengetahui sumber masalahnya. Harapan kita, kasus seperti ini menjadi yang terakhir di Papua Barat Daya,” tegasnya.
Senator Hartono menambahkan bahwa pengelolaan makanan massal membutuhkan pengawasan ketat karena melibatkan rantai mulai dari pembelian bahan baku hingga distribusi ke sekolah.
“Rantai pengolahan makanan massal itu panjang dan harus sangat diperhatikan. Masyarakat jangan takut menerima program yang sebenarnya sangat bagus ini. Tapi pemerintah harus pastikan semua rantai itu diawasi ketat,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa belum ada kesimpulan mengenai titik kelalaian. DPD RI, menurutnya, akan menunggu hasil investigasi lapangan sebelum menetapkan langkah lanjut.
“Kita belum bisa memastikan di mana letak kesalahannya. Jika ke depan ditemukan kelalaian, tentu akan ada sanksi sesuai kontrak,” katanya.
Hingga Senin malam, total 76 siswa dan beberapa pekerja sekolah masih menjalani perawatan intensif di RSUD Raja Ampat akibat gejala mual, muntah, diare, dan sakit perut setelah mengonsumsi makanan dari Dapur MBG 01.
Data resmi per pukul 21.00 WIT mencatat rincian korban sebagai berikut:
- SD YPK: 31 siswa
- SMP YPK Alfa Omega: 24 siswa
- SMK Bukit Zaitun: 5 siswa
- SDN 29: 9 siswa
- MTs LIM: 2 siswa
- SMP 14: 1 siswa
- Pekerja SMK Bukit Zaitun: 3 orang
- Anak keluarga guru SMK Alfa Omega: 1 orang
Selain itu, seorang kepala sekolah dan tiga pekerja bangunan juga mengalami gejala serupa.
Lonjakan korban membuat BPBD Raja Ampat mendirikan tenda darurat di halaman RSUD. Polres Raja Ampat mengirimkan puluhan tempat tidur lapangan untuk menampung pasien tambahan.
Wakil Bupati Raja Ampat, Mansyur Syahdan, turun meninjau para korban dan memastikan layanan kesehatan berjalan optimal.
“Yang paling penting saat ini adalah para pasien ini bisa tertangani dengan baik, mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik,” ujarnya.
Ketua DPRD Raja Ampat, Muhammad Taufik Sarasa, juga meninjau lokasi dan menyatakan perlunya tindakan tegas sambil menunggu hasil laboratorium.
“Kami berharap pemerintah daerah, dalam hal ini tim satgas, melakukan evaluasi dan memberhentikan operasional Dapur 1 MBG sementara waktu,” kata Taufik.
Polres Raja Ampat telah memeriksa Dapur MBG 01 dan menyita sejumlah sampel makanan untuk diuji lebih lanjut. Penyidik mulai meminta keterangan dari pengelola program MBG.
Informasi awal menyebutkan bahwa 2.500 ompreng makanan didistribusikan ke 16 sekolah di Waisai pada hari kejadian.
Pihak pengelola dapur maupun ahli gizi MBG 01 belum memberikan pernyataan resmi.
Pada Selasa (2/12/2025), Gubernur Papua Barat Daya bersama Sekretaris BGN, Danrem 181/PVT Sorong, dan Kapolda Papua Barat Daya dijadwalkan meninjau lokasi untuk mengevaluasi insiden ini.
Pemerintah memastikan bahwa hasil uji laboratorium akan menjadi dasar keputusan terhadap operasional Dapur MBG 01 serta keberlanjutan program makan bergizi di sekolah-sekolah.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait
