SORONG, iNewssorongraya.id – Perseteruan internal usai pesta pernikahan berujung jerat hukum. Nhelvy Kumala Nasruddin, warga Kota Sorong, divonis satu tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong karena dinyatakan bersalah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) melalui unggahan di media sosial Facebook yang dinilai bermuatan penghinaan dan pencemaran nama baik.
Putusan dibacakan dalam sidang pada Kamis (19/6/2025), yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Hatijah Averien Paduwi, didampingi dua hakim anggota, Rivai Tukuboya dan Bernard Papendang.
Majelis Hakim menyatakan Nhelvy terbukti bersalah melanggar Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
"Menjatuhkan pidana penjara selama satu tahun kepada terdakwa," ujar Ketua Majelis Hakim Hatijah dalam sidang terbuka.
Vonis tersebut lebih ringan enam bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sorong yang sebelumnya menuntut terdakwa 1 tahun 6 bulan penjara.
Kasus ini bermula dari unggahan Facebook Nhelvy Kumala pada akhir tahun 2022, tak lama setelah resepsi pernikahannya yang digelar di Gedung ACC Masjid Agung Al-Akbar, Kota Sorong. Dalam unggahannya, Nhelvy menuding salah satu panitia pernikahannya melakukan sabotase karena motif iri hati.
Salah satu bagian status yang dipermasalahkan berbunyi:
"...disabotase oleh ketua panitia acara pernikahan kami karena telah lama iri dan dengki terhadap keluarga kami... Kami tidak sadar bahwa ada 'ULAR' berbentuk manusia masuk ke dalam rumah yang sengaja ingin menghancurkan acara kami."
Unggahan tersebut sontak menuai reaksi. Saksi Muhammad Mulfi, yang saat itu menjabat sebagai ketua panitia acara, merasa nama baiknya dicemarkan. Ia kemudian melaporkan unggahan tersebut ke pihak berwajib.
Dalam persidangan, ahli bahasa Indonesia, Drs. Krisanjaya, M.Hum, menyatakan bahwa frasa-frasa seperti "akhlakmu sendiri tidak terdidik" dan "secara sengaja disabotase" memenuhi unsur penghinaan dan pencemaran nama baik secara verbal dan implisit di ruang digital.
Usai pembacaan vonis, baik terdakwa melalui kuasa hukumnya maupun JPU menyatakan masih pikir-pikir atas putusan tersebut.
Kasus ini menjadi pengingat tentang dampak hukum dari ujaran di media sosial. Pakar hukum digital menilai kasus serupa bisa terus muncul seiring meningkatnya penggunaan platform daring sebagai sarana berekspresi.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait