Masyarakat dan Pelaku Wisata Bangkit Menolak Tambang Nikel di Pulau Batan Pelei

STEVANI GLORIA
Pelaku Wisata di Raja Ampat tolak aktifitas operasional tambang di Pulau Batan Pelei.

 

WAISAI, iNewssorongraya.id – Gelombang penolakan terhadap rencana eksploitasi tambang nikel di Pulau Batan Pelei, Kampung Manyaifun, Distrik Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, semakin membesar. Masyarakat dan pelaku industri pariwisata bersatu dalam satu suara: menolak keras kehadiran pertambangan yang dinilai menjadi ancaman besar bagi ekosistem laut dan sektor wisata unggulan Raja Ampat.

Aksi penolakan ini tidak hanya datang dari masyarakat setempat, tetapi juga dari empat asosiasi pariwisata yang tergabung dalam Koalisi Persatuan Pelaku Wisata Raja Ampat. Mereka menilai bahwa tambang nikel akan membawa dampak negatif yang luas, termasuk deforestasi, pencemaran laut, serta terganggunya keberlanjutan pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal.


Pelaku Wisata di Raja Ampat tolak aktifitas operasional tambang di Pulau Batan Pelei.

 

Ketua Pemuda Kreatif Raja Ampat (PERKARA), Lucky Mambraku, menegaskan bahwa masyarakat, aktivis lingkungan, dan para pelaku wisata kini menggalang petisi untuk mendesak pemerintah segera menghentikan rencana tambang. "Kami tidak akan tinggal diam melihat tanah kami dieksploitasi tanpa memikirkan dampaknya bagi generasi mendatang. Tambang ini tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, justru akan menghancurkan sumber kehidupan utama kami," ujar Lucky.


Ketua Pemuda Kreatif Raja Ampat (PERKARA), Lucky Mambraku.

 

Sebagai bentuk perlawanan, pada Selasa malam, 11 Maret 2025, sekitar pukul 22.00 WIT, baliho besar bertuliskan “MENOLAK KERAS AKTIVITAS TAMBANG DI RAJA AMPAT, KARENA AKAN MERUSAK PARIWISATA DAN MENINGGALKAN AIR MATA BAGI ANAK CUCU KITA” dipasang di pintu masuk utama Pelabuhan Kota Waisai.

Empat organisasi yang aktif dalam gerakan ini adalah Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), Professional Association of Diver Raja Ampat (PADRA), Asosiasi Speedboat Raja Ampat (ASRA), serta Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Raja Ampat (PERJAMPAT). Mereka menekankan bahwa keberadaan tambang di wilayah ini adalah ancaman besar bagi industri wisata yang telah membawa Raja Ampat ke panggung dunia.


Pelaku Wisata di Raja Ampat tolak aktifitas operasional tambang di Pulau Batan Pelei.

 

Ancaman terbesar bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga ekonomi masyarakat lokal. Jika tambang tetap beroperasi, deforestasi besar-besaran tidak bisa dihindari. Bahkan, pemukiman warga juga berpotensi terancam karena wilayah Manyaifun merupakan daerah dangkal yang menjadi habitat populasi karang serta berada dekat dengan Pulau Piaynemo, salah satu ikon wisata internasional Indonesia.


Kawasan Pulau Batan Pelei, Raja Ampat. [FOTO : Screenshoot google earth]

 

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sebuah perusahaan tambang, PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP), telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 2.194 hektare dan mulai melakukan survei serta pengambilan sampel sejak September 2024. Kehadiran perusahaan ini langsung menuai protes dari masyarakat adat yang khawatir akan dampak lingkungan dan sosial, termasuk rusaknya ekosistem laut dan terganggunya kehidupan mereka yang bergantung pada perikanan, pertanian, serta pariwisata.


Masyarakat adat Suku Kawei saat memasang Baliho penolakan rencana operasional Tambang di Pulau Batan Pelei, Raja Ampat.

 

"Jika tambang ini dipaksakan beroperasi, maka pemukiman warga, ekosistem laut, dan masa depan pariwisata Raja Ampat akan hancur. Kami berharap pemerintah segera mengambil sikap sebelum semuanya terlambat," ujar salah satu warga Kampung Manyaifun.

Masyarakat berharap persoalan ini segera mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat dan daerah. Mereka menegaskan bahwa penolakan ini tidak hanya menjadi tugas masyarakat dan asosiasi wisata, tetapi juga membutuhkan keberanian pejabat daerah untuk mengintervensi perizinan tambang yang berpotensi menjadi awal kehancuran Raja Ampat.


Pesona gugusan kepulauan pulau Batan Pelei, Raja Ampat. [FOTO " Courtesy : pasir Pantai.com]

 

Gerakan penolakan ini semakin kuat dan meluas, menandakan bahwa masyarakat Raja Ampat tidak akan tinggal diam. Mereka ingin melindungi warisan alam yang telah dikenal dunia, bukan menyerah pada eksploitasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Kini, semua mata tertuju pada pemerintah: Akankah mereka mendengar suara rakyat atau membiarkan Raja Ampat terancam oleh industri tambang?

 

Editor : Hanny Wijaya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network