SORONG, iNewsSorong.id - Penyidikan dugaan tindak pidana pemilu yang melibatkan calon gubernur Papua Barat Daya nomor urut satu, Abdul Faris Umlati (AFU), resmi dihentikan oleh tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Papua Barat Daya. Penghentian penyidikan ini dilakukan karena keterbatasan waktu yang ditetapkan undang-undang, yakni 14 hari kerja.
Pengumuman tersebut disampaikan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Papua Barat, Kombes Pol Novia Jaya, yang juga bertindak sebagai pembina Gakkumdu Papua Barat Daya, dalam konferensi pers di Sorong pada Minggu malam (3/11/2024). Novia mengungkapkan bahwa tim penyidik telah melakukan berbagai langkah, termasuk pemanggilan saksi dan terlapor, namun kendala waktu membuat kasus ini terpaksa harus dihentikan.
“Kami memiliki waktu 14 hari kerja untuk menyelesaikan penyidikan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Karena waktu tersebut telah habis, kami memutuskan untuk menghentikan penyidikan,” jelasnya di hadapan awak media.
Abdul Faris Umlati, yang saat kasus berlangsung menjabat sebagai Bupati Raja Ampat, diduga melakukan pelanggaran administrasi terkait pergantian pejabat di wilayah tersebut. Dugaan pelanggaran ini pertama kali diselidiki oleh Bawaslu Papua Barat Daya, yang kemudian melibatkan Gakkumdu dalam proses penyidikan pidana.
Penyidik telah mengeluarkan laporan polisi pada tanggal 13 Oktober 2024 dengan nomor B.228/X/2024 terkait dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh terlapor. Tim penyidik juga telah memeriksa 23 saksi dan memanggil terlapor dua kali untuk pemeriksaan. Pada pemanggilan kedua, terlapor hadir dan diperiksa sebagai saksi.
Namun, Novia Jaya mengungkapkan bahwa terdapat kendala pada alat bukti formil yang memerlukan keterangan saksi ahli dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Meski Bawaslu telah mendatangi Kemendagri dan mengirimkan surat permintaan klarifikasi terkait surat Plt atau surat penunjukan pejabat yang dikeluarkan oleh terlapor, belum ada jawaban resmi yang diterima.
“Keterangan saksi ahli dari Kemendagri sangat dibutuhkan untuk melengkapi bukti formil, namun hingga batas waktu berakhir, jawaban belum juga kami terima,” ujar Novia.
Penghentian kasus ini menimbulkan pertanyaan terkait batas waktu penyidikan pidana pemilu yang hanya 14 hari kerja. Beberapa pihak mempertanyakan apakah aturan waktu yang singkat ini cukup memadai, mengingat kasus-kasus pidana pemilu sering kali membutuhkan verifikasi lebih mendalam, terutama saat memerlukan keterangan dari berbagai instansi.
Kombes Pol Novia Jaya menjelaskan bahwa meski alat bukti materiil dianggap telah terpenuhi, namun ketiadaan bukti formil membuat penyidikan tidak dapat dilanjutkan. Ia juga menambahkan bahwa aturan batas waktu merupakan bagian dari undang-undang yang harus dipatuhi, sehingga pihak kepolisian tidak memiliki pilihan selain menghentikan penyidikan.
Pemberhentian penyidikan kasus ini menjadi preseden yang menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat mengenai efektivitas penegakan hukum pidana pemilu. Dengan proses yang dihentikan hanya karena batas waktu, muncul pertanyaan apakah aturan ini sebaiknya ditinjau kembali untuk memberikan fleksibilitas lebih dalam kasus-kasus kompleks yang melibatkan banyak pihak dan instansi.
Bawaslu Papua Barat Daya dan Polda Papua Barat berharap agar kejadian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan revisi undang-undang yang mengatur batas waktu dalam penyidikan pidana pemilu.
Editor : Chanry Suripatty