Polemik Reklamasi 12 Hektare di Sorong, Kelly Kambu : PT BJA Miliki Dokumen Amdal Sah

SORONG KOTA, iNewssorongraya.id – Polemik kepemilikan lahan reklamasi seluas 12 hektare di kawasan Tampagaram, Sorong, Papua Barat Daya, memasuki babak baru. Sengketa antara PT Bagus Jaya Abadi (BJA) yang diwakili Ronal L. Sanuddin dan pihak Labora Sitorus Cs kini bergulir di Pengadilan Negeri Sorong, memunculkan perdebatan soal legalitas dokumen izin reklamasi yang diklaim masing-masing pihak.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan (DLHKP) Papua Barat Daya, Julian Kelly yang merupakan mantan Kepala Dinas Perlindungan dan Pengelolaan Lingkung Hidup, Kota Sorong, menegaskan bahwa dari sisi kebijakan lingkungan, PT BJA telah menjalankan seluruh tahapan prosedur amdal secara sah dan sesuai peraturan.
“Proses dan tahapan amdal dilakukan dengan baik sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Mulai dari konsultasi publik, penyusunan kerangka acuan, analisis dampak, hingga rencana kelola dan pantauan lingkungan. Semua dibahas di Komisi Amdal Pemerintah Kota Sorong,” ujar Kelly Kambu, Senin (13/10/2025).
Ia menyebut, dokumen amdal PT BJA dibahas resmi dalam rapat di Hotel Waigo, disertai foto dan notulen kegiatan. “Ada bukti-bukti dokumennya, termasuk pengesahan dari Bagian Hukum Setda Kota Sorong saat itu,” tambahnya.
Kelly menjelaskan, perubahan kewenangan laut dari pemerintah daerah juga menjadi dasar yang harus dipahami dalam kasus ini. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan laut 0-4 mil berada pada pemerintah kota, sedangkan 4-12 mil berada di provinsi. Namun, setelah terbit UU Nomor 23 Tahun 2014, kewenangan laut dari 0-12 mil kini menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi.
“Kami hanya menjelaskan sesuai koridor hukum. Tidak berpihak kepada Labora Sitorus maupun PT BJA. Fakta hukumnya, PT BJA punya izin prinsip, izin lokasi, dan izin lingkungan yang dikeluarkan berdasarkan dokumen amdal sah,” tegas Kelly.
Ia menambahkan, penerbitan izin lingkungan tanpa amdal merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman tiga tahun tiga bulan penjara. “Jadi proses yang dilakukan PT BJA sudah benar secara prosedural,” ujarnya.
Kelly menegaskan bahwa kegiatan reklamasi tidak dilarang sepanjang mengikuti aturan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Reklamasi diperbolehkan selama tahapan mutu dan perizinan dipenuhi. Tinggal izin prinsip keluar berdasarkan RTRW. Karena itu, kalau RTRW Provinsi Papua Barat Daya sedang ditinjau kembali, kegiatan bisa dilanjutkan sesuai ketentuan,” paparnya.
Ia juga menyarankan agar kedua pihak mengajukan dokumen resmi ke Gubernur Papua Barat Daya, karena kewenangan laut dari bibir pantai hingga 12 mil kini berada di tangan gubernur, bukan lagi wali kota atau bupati.
Menanggapi kesaksian mantan Wali Kota Sorong, Lambert Jitmau, yang menyebut dokumen izin reklamasi di Tampagaram milik PT. BJA palsu, Kelly meminta agar hal itu dibuktikan secara hukum.
“Kami mendukung upaya forensik tanda tangan untuk memastikan keaslian dokumen. Kalau ada pejabat yang terbukti melakukan pemalsuan, sanksinya berat,” kata Kelly.
Ia menjelaskan, izin lingkungan PT BJA diterbitkan pada 7 November 2013, sedangkan ia menjabat di DLH Kota Sorong sejak 20 Juni 2013. “Semua tahapan sudah selesai dan sesuai mekanisme,” tambahnya.
Sebelumnya, Lambert Jitmau, yang menjabat Wali Kota Sorong dua periode (2012–2023), dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Sorong (9/9/2025) dalam perkara sengketa tanah tersebut. Ia menegaskan, tidak pernah menandatangani atau menerbitkan izin reklamasi di Tampagaram.
“Saya pastikan dokumen izin reklamasi itu palsu. Saya tidak pernah mengeluarkan izin prinsip reklamasi di sana,” ujar Jitmau di hadapan majelis hakim yang diketuai Beauty Deitje Elisabeth Simatauw.
Jitmau menyebut tiga dokumen yang diklaim PT BJA sebagai dasar hukum reklamasi—yakni SK Wali Kota Sorong No. 188.45/122/2013 (4 November 2013), SK No. 545/158/2014 (15 Desember 2014), dan izin reklamasi No. 556.1/05 (26 Oktober 2016)—tidak pernah ia keluarkan.
“Saya baru tahu dokumen itu ada saat perkara ini disidangkan. Harus ditelusuri siapa yang membuatnya,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa selama dua dekade memimpin, hanya satu izin reklamasi yang pernah ia keluarkan, yakni izin prinsip seluas 50 hektare di kawasan Tembok Berlin, pusat Kota Sorong.
“Selama dua periode, hanya satu izin prinsip di Tembok Berlin. Tidak pernah di Suprau,” kata Jitmau.
Kelly Kambu menilai, persoalan ini sebaiknya diselesaikan di luar pengadilan demi efisiensi waktu dan kepastian hukum.
“Kalau ini murni soal lingkungan, lebih baik diselesaikan lewat mekanisme non-litigasi. Lebih cepat dan konstruktif daripada proses panjang di pengadilan,” ujarnya.
Ia menambahkan, kawasan tersebut masih memungkinkan untuk reklamasi karena masuk dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan (DLKR) dan telah memiliki payung hukum tata ruang.
Dengan fakta bahwa PT BJA memiliki dokumen amdal dan izin lingkungan yang disahkan oleh pemerintah kota, sementara dokumen yang diklaim pihak lain masih diperdebatkan, sengketa ini berpotensi menjadi preseden penting bagi tata kelola lingkungan dan kewenangan laut di Papua Barat Daya.
Editor : Hanny Wijaya