Wajah Baru Wamena: Dari Lembah Damai Menjadi Zona Rawan Banjir, Alam dan Manusia dalam Ancaman

WAMENA, iNewssorongraya.id — Hujan deras selama tiga jam yang mengguyur Kota Wamena pada Jumat (25/4/2025) kembali menyingkap luka lama yang kian melebar: rusaknya tata kota, buruknya pengelolaan lingkungan, dan kerentanan infrastruktur yang tak lagi sanggup menahan derasnya air.
Genangan air setinggi 20 hingga 30 sentimeter meluap di sejumlah ruas jalan utama seperti perempatan Jalan Ahmad Yani – Jalan Irian, kawasan depan Bank BRI, hingga akses menuju Rumah Sakit di Jalan Trikora. Air juga memasuki permukiman warga, dengan ketinggian hingga sepinggang orang dewasa. Wamena yang dahulu dikenal dengan ketenangan dan keasriannya kini berubah menjadi kota yang rentan direndam bencana.
Bencana banjir yang terus berulang sejak 2024 ini menegaskan satu hal: ada yang salah dengan cara kita memperlakukan alam. Kerusakan daerah tangkapan air di kawasan Walesi, Habema, dan Ibele akibat pembalakan liar, alih fungsi lahan, serta penumpukan sampah di saluran air, menjadi penyebab utama luapan air yang semakin tak terkendali.
Bonny, warga setempat, menyuarakan keresahan yang makin meluas. Ia menyebut banjir ini sebagai "peringatan ekologis" atas kerusakan lingkungan yang dibiarkan tanpa solusi konkret.
“Dulu hujan deras tidak pernah membuat Wamena kebanjiran. Tapi sekarang? Hutan gundul, mata air rusak, sungai kian dangkal. Kalau ini dibiarkan, lembah ini bisa jadi danau lagi,” ujarnya.
Bonny bahkan mendorong pembentukan tim investigasi independen untuk menelusuri secara menyeluruh penyebab banjir yang kini mulai mengancam eksistensi Lembah Baliem.
Sejumlah warga lain menilai pemerintah harus lebih responsif terhadap desakan publik. Mereka menekankan pentingnya momentum ini dimanfaatkan untuk menertibkan bangunan liar yang berdiri di badan sungai dan mempercepat kebijakan tanggap darurat berbasis kebutuhan nyata masyarakat.
“Selama masih ada tekanan publik, ini momen yang tepat untuk bergerak cepat. Jangan tunggu isu ini hilang dan hilang pula semangat reformasinya,” ungkap seorang tokoh masyarakat.
Menanggapi situasi tersebut, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Jayawijaya, Andre Kindangen, menyampaikan bahwa saat ini pihaknya tengah fokus membersihkan saluran tersumbat dan memperbaiki drainase.
Menurut Andre, kerusakan lingkungan di wilayah hulu serta perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan menjadi kombinasi penyebab utama banjir.
“Penanganan ini tidak bisa hanya dari pemerintah. Kesadaran bersama adalah kunci. Kita sudah turunkan tim teknis dan berkoordinasi dengan BPJN serta Pemprov,” jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Bupati Jayawijaya, Ronny Elopere, menegaskan bahwa pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat telah membagi tanggung jawab sesuai kewenangan masing-masing.
“Kita sudah duduk bersama. Pemkab tangani jalan kabupaten, provinsi tangani ruas provinsi, dan BPJN untuk nasional. Ini harus cepat karena warga butuh tindakan nyata, bukan janji,” tegas Ronny.
Ia juga meminta percepatan normalisasi jalur strategis seperti Hom-Hom dan Sinakma–Habema serta penanganan pendangkalan sungai-sungai kecil dalam kota yang makin kritis.
Pemerintah Kabupaten Jayawijaya menutup dengan imbauan agar seluruh lapisan masyarakat ikut menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.
“Jika kita terus abai, banjir akan jadi masalah rutin yang makin mematikan. Menjaga hutan, membuang sampah dengan benar, dan gotong royong membersihkan lingkungan adalah cara kita menjaga kota ini tetap hidup,” pungkas Andre.
Kini, Wamena berada di persimpangan jalan. Kota yang pernah menjadi lambang ketenangan di pegunungan tengah Papua harus memilih: segera berbenah atau bersiap menghadapi bencana ekologis yang lebih besar di masa depan.
Editor : Hanny Wijaya