AGATS, iNewssorongraya.id – Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, berubah mencekam pada Sabtu pagi, 27 September 2025. Kerusuhan besar meledak usai seorang warga tewas diduga ditembak oknum anggota Satgas TNI 123/Rajawali di Jalan Dolog. Insiden itu menyulut amarah warga: pos militer dibakar, penjarahan pecah, dan korban luka berjatuhan.
Dari data yang berhasil dihimpun Redaksi iNewssorongraya.id, kejadian bermula sekitar pukul 08.40 WIT. Seorang pria dalam pengaruh minuman keras menyerang dua warga dengan tombak hingga luka serius. Laporan cepat masyarakat membuat sejumlah prajurit Satgas 123/Rajawali tiba di lokasi.
Namun, upaya menenangkan situasi berubah ricuh. Pria tersebut justru menyerang anggota Satgas. Dalam kondisi terdesak, seorang prajurit melepaskan tembakan. Alih-alih melumpuhkan, peluru menewaskan pria itu. Seorang anak kecil yang berada di sekitar lokasi juga ikut terluka.
Kabar penembakan menyebar cepat. Ratusan warga mengepung Pos TNI Satgas Rajawali. Amukan massa tak terkendali. Pos militer dibakar hingga rata dengan tanah. Api melalap bangunan dan memicu kepanikan.
Dari rekaman CCTV yang beredar menunjukkan penjarahan di sebuah konter handphone di pusat Kota Agats. Puluhan orang tampak membawa barang jarahan. “Suasana kota benar-benar kacau. Orang berhamburan, ada yang terluka, ada yang mencoba menolong korban,” kata seorang warga yang enggan disebut namanya.
Selain satu warga yang tewas tertembak, dua orang terluka karena serangan tombak. Sejumlah lainnya luka akibat bentrokan. Mobil ambulans RSUD Agats dirusak massa, toko dan kios ikut dijarah.
Seorang tokoh agama menyebut peristiwa ini sebagai tragedi kemanusiaan. “Kita tidak boleh saling membalas. Situasi ini harus segera diselesaikan agar tidak menimbulkan korban lebih banyak,” ujarnya.
Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII Cenderawasih, Kolonel Inf Candra Kurniawan mengakui insiden penembakan oleh anggota Satgas. Ia menegaskan tindakan itu diambil karena situasi membahayakan.
“Namun karena membahayakan masyarakat lain dan bahkan menyebabkan dua warga terluka, lalu prajurit mengeluarkan tembakan peringatan, namun menyebabkan satu orang meninggal dunia,” terang Kapendam.
Ia memastikan investigasi tengah berlangsung. “Sampai saat ini masih ditelusuri kronologi kejadian sebenarnya. Akan dilakukan pemeriksaan dan proses hukum yang tegas jika benar terbukti dilakukan oleh prajurit TNI,” tegasnya.
Aparat TNI-Polri menurunkan personel tambahan. Tokoh adat dan tokoh agama ikut menenangkan massa. Menjelang sore, situasi mulai terkendali meski ketegangan masih terasa. Kapendam mengimbau masyarakat tetap tenang. “Kami harap masyarakat tidak terhasut isu yang bisa merusak kedamaian di tanah Papua,” katanya.
Kerusuhan Agats menjadi cermin rapuhnya stabilitas keamanan di Papua Selatan, provinsi baru hasil pemekaran otonomi khusus. Bagi aktivis HAM, insiden ini lebih dari sekadar kesalahpahaman di lapangan.
“Kalau dibiarkan, kejadian ini bisa menjadi preseden buruk. Negara harus hadir dengan keadilan, bukan kekerasan,” tegas seorang aktivis HAM.
Seorang warga Papua mengingatkan betapa pentingnya memperlakukan orang Animha—suku besar di Papua Selatan—dengan bijak.
“Kamu pegang Orang Animha baik-baik. Jangan kasi kecewa mereka. Kamu Satgas bukan polisi. Kamu lawan rakyat dengan senjata, itu salah. Kalau Orang Animha kecewa dan bersuara minta merdeka, fondasi bangsa di tanah Papua goyang,” katanya.
Kerusuhan di Agats memperlihatkan bahwa kekerasan aparat terhadap warga sipil bisa menjelma menjadi konflik besar bila tidak dikelola dengan pendekatan kemanusiaan. Tragedi ini menjadi ujian serius bagi pemerintah pusat, aparat, dan masyarakat Papua Selatan dalam membangun kepercayaan bersama di tengah otonomi baru.
Editor : Chanry Suripatty
Artikel Terkait