SORONG, iNewssorongraya.id — Suasana haru dan amarah menyelimuti Pengadilan Negeri (PN) Sorong, Senin (2/6/2025) sore, ketika keluarga korban pembunuhan di Maybrat meledak dalam protes keras usai vonis dibacakan. Mereka menilai hukuman terhadap terdakwa Musa Kambu—yang divonis 4 tahun 6 bulan penjara—jauh dari rasa keadilan.
Putusan tersebut dijatuhkan oleh Majelis Hakim PN Sorong yang diketuai Yajid Raharjo, dengan anggota Rifai Tukuboya dan Lutfi Tomu. Ironisnya, vonis ini justru lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut 4 tahun penjara.
Namun bagi keluarga korban, hukuman itu tetap tak sebanding dengan nyawa Frangklin Iek, korban pembunuhan yang juga merupakan Kepala Sekretariat PPS Kampung Kambufatem saat Pemilu 2024.
"Ibu korban bahkan hampir membanting kursi di ruang tunggu. Ia sangat histeris dan nyaris merusak fasilitas PN Sorong," ungkap salah satu saksi mata di lokasi.
Aksi keluarga korban sempat membuat suasana mencekam. Beruntung, petugas PN dan aparat kepolisian yang berjaga berhasil meredam emosi agar situasi tetap kondusif. Meski demikian, protes keras tetap berlangsung hingga malam hari.
Ketua PN Sorong, Beauty D.E. Simatauw, S.H., M.H., mencoba menenangkan pihak keluarga dengan menjelaskan bahwa putusan tersebut bukan final dan masih dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Papua Barat Daya maupun kasasi ke Mahkamah Agung.
Namun penjelasan itu tidak diterima dengan baik. "Kami minta putusan ini direvisi! Hukuman 4 tahun 6 bulan untuk pembunuhan? Negara mana yang membenarkan ini?" seru Pieter Iek, ayah korban, dengan nada tinggi penuh kecewa.
Dalam wawancaranya, Pieter Iek menegaskan bahwa pihak keluarga telah mengikuti proses hukum dari awal—mulai dari penyidikan di Polres, Kejaksaan, hingga persidangan.
"Saya tidak pintar hukum, jadi saya bertanya. Tolong tunjukkan pasal dan undang-undangnya. Di mana disebutkan pelaku pembunuhan dihukum hanya 4 tahun 6 bulan?" ujarnya lantang.
Ia menilai hukuman ringan ini bisa berdampak buruk bagi penegakan hukum dan keamanan masyarakat di Maybrat. “Kalau tadi ditambah 3 tahun lagi, mungkin kami puas. Tapi ini? Sangat tidak adil,” tambahnya.
Hal senada disampaikan oleh ibu korban, Federika Way. Ia mengecam argumen pengadilan yang menjadikan perdamaian adat sebagai alasan meringankan hukuman.
"Perdamaian adat belum selesai. Denda 50 juta masih belum dibayar lunas, bahkan kain kepala pun tidak ada. Itu disebut perdamaian?" ucap Federika dengan emosi.
Federika juga menyebut almarhum anaknya sebagai pejuang demokrasi yang gugur saat bertugas. "Frangklin Iek ini pahlawan. Kami sudah buat prasasti di kampung. Dia adalah anak bungsu kami, harapan keluarga," imbuhnya.
Almarhum meninggalkan seorang istri dan anak berusia dua tahun. "Siapa yang akan menanggung hidup mereka sekarang?" ujar Federika, menutup pernyataannya dengan mata berkaca-kaca.
Meski kecewa, pihak keluarga menyatakan siap menempuh jalur banding demi mencari keadilan yang lebih layak.
Editor : Hanny Wijaya
Artikel Terkait