Bersekutu Menjaga Hutan dari Agresi Kebun Sawit di Tanah Tehit

TANTOWI
Aksi massa perjuangan masyarakat Suku Tehit di Distrik Konda dan Distrik Teminabuan, mempertahankan wilayah hutan adatnya dari agresi pemilik modal. (FOTO: TANTOWI)

SEWINDU telah berlalu. Namun perjuangan masyarakat Suku Tehit di Distrik Konda dan Distrik Teminabuan, masih menggebu untuk mempertahankan wilayah hutan adatnya dari agresi pemilik modal. Secara konsisten, sejak 2013 masyarakat di Kabupaten Sorong Selatan Papua Barat ini menggelar aksi penolakan atas hadirnya perusahaan kebun sawit.

“Kami tolak! Kami tolak sawit! Kami tidak mau ada perusahaan sawit di kami punya tanah Tehit ini,” teriak Orpa Konjol.

Dengan tangan mengepal dan kain merah mengikat kepala, perempuan adat Suku Tehit Mlaqya ini berorasi penuh semangat. Orpa tidak sendirian. Siang itu, usai ibadah Minggu, 9 Oktober 2022 lalu, bersama Marthen Konjol dan puluhan warga Kampung Wersar dan Tapiri, Distrik Teminabuan, mereka menggelar aksi damai di pertigaan jalan kampung. Bergantian orasi dengan Marthen, suara mama Papua yang usianya lebih setengah abad ini terdengar lantang meski sedikit parau.

Sejak 2013 masyarakat dari Suku Tehit di Distrik Konda dan Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat ini menggelar aksi penolakan kehadiran perusahaan sawit.

Dalam beberapa kali kesempatan, aksi massa ini dilakukan bersama dengan masyarakat Suku Tehit Nakna, Tehit Gemna, Tehit Yaben dan Tehit Afsya. Suku Tehit, salah satu suku besar pemilik ulayat di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, selain Suku Imekko (Inanwatan/Bira, Metemani, Kais dan Kokoda/Emeyode). Komunitas Tehit jadi tuan tanah atas wilayah adat di Distrik Teminabuan dan Konda.


Aksi massa perjuangan masyarakat Suku Tehit di Distrik Konda dan Distrik Teminabuan, mempertahankan wilayah hutan adatnya dari agresi pemilik modal. (FOTO: TANTOWI)

 

Sebagai distrik tertua, Teminabuan dengan luas wilayah mencapai 388,98 km,² populasi penduduk 20.846 jiwa (2021), punya dua kelurahan, Kaibus dan Kohoin dan 14 kampung.

Sedangkan Distrik Konda, dengan cakupan wilayah 612,70 km², memiliki lima kampung, Bariat, Konda, Manelek, Nakna dan Wamargege. Sebagai ibukota distrik, Konda adalah wilayah adat Tehit Gemna, Tehit Yaben, Tehit Nakna dan Tehit Afsya. Tehit Gemna, yang menghuni Kampung Manelek dengan nama Marga Gemnafle, Gemnase, Wasfle, Sawor dan Kedemes.

Dalam aksinya, persekutuan Masyarakat Tehit ini menegaskan penolakan terhadap PT Anugerah Sakti Internusa (ASI), perusahaan sawit yang akan merambah hutan adat mereka. Aksi terakhir 9 Oktober lalu, juga menyuarakan dukungan terhadap Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli yang tengah melakukan upaya hukum di pengadilan.

Bupati Sorong Selatan digugat ASI dan PT Persada Utama Agromulia (PUA) menyusul pencabutan izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) perusahaan itu pada Mei 2021. Satu lagi izin lokasi dan IUP yang juga dicabut adalah PT Internusa Jaya Sejahtera (PJS). Namun perusahaan ini tak melakukan gugatan.

Tiga perusahaan perkebunan sawit ini dimiliki Indonusa Agromulia Group, berlokasi di Distrik Sawiat, Seremuk, Teminabuan, Kais, Konda, Wayer dan Moswaren di Sorong Selatan. Indonusa sebagai holding, beralamat di Gedung Permata Kuningan Lantai 19, Jalan Kuningan Mulia Kavling 9C, Kelurahan Guntur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.


Hutan Bariat yang dijaga masyakarat adat suku Tehit (FOTO : TANTOWI)

 

Iwan Kurniawan Niode, Kuasa Hukum ASI dan PUA menyebut, pihaknya terpaksa melayangkan gugatan setelah permohonan klarifikasi dan surat keberatan administratif yang disampaikan ke Bupati Sorong Selatan, tidak membuahkan hasil. Dalam permohonan klarifikasi dan keberatan administratif atas keputusan Bupati Samsudin mencabut izin lokasi dan IUP klien, Iwan menyampaikan alasan mengapa perusahaan tidak segera melakukan kegiatan penanaman. Selama 10 hari sejak surat terakhir di kirim pada Oktober 2022 tidak ada jawaban, Iwan mengklaim Bupati Sorong Selatan setuju dengan keberatan ASI dan PUA.

“Kami sedang melengkapi dokumen izin lainnya, namun dalam perjalanan datang pandemi Covid-19. Saat semua proses itu terhenti, dan tiba-tiba Bupati Sorong Selatan mencabut izin lokasi dan IUP yang sudah kami miliki. Ini yang cacat prosedur, dan kami butuh klarifikasinya,” ungkap Iwan menjawab Mongabay, Minggu, 04 Desember 2022.

Sebelum izin dicabut konsesi ASI seluas 37.000 hektar di Distrik Konda dan Teminabuan. Perusahaan ini mendapatkan izin lokasi melalui Surat Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 522/184/BSS/XII/2013 tertanggal 16 Desember 2013. PUA pegang konsesi 25.000 hektar di Distrik Wayar dan Kais dengan izin lokasi tertanggal sama, Nomer 522/183/BSS/XII/2013. Setahun kemudian, terbit IUP oleh Bupati Sorong Selatan.

Masing-masing izin yang diterbitkan Bupati Sorong Selatan era Otto Ihalauw ini, dengan masa berlaku selama tiga tahun dan harus diperpanjang.

“Seingat saya, waktu itu Pak Bupati juga komunikasi dengan masyarakat adat sebelum mengambil keputusan. Tidak ada aksi-aksi penolakan yang terjadi, sampai akhirnya izin lokasi terbit,” kata Suroso, saat proses penerbitan izin menjabat sebagai Sekretaris Bappeda Sorong Selatan.

Keterangan ini juga dibenarkan Iwan Kurniawan Niode, kuasa hukum ASI dan PUA. Bahkan pihaknya mengaku masih menyimpan bukti-bukti penyerahan sejumlah ‘uang kompensasi’ sebagai bentuk kesepakatan atas hadirnya perusahaan sawit, kepada tokoh suku dan marga di wilayah konsesi. Bukti ini telah di buka dalam ruang persidangan.

“Tapi ini bukan uang ganti rugi lahan, karena proses itu memang belum kami lakukan. Hanya uang komitmen atas hadirnya perusahaan, dan kami tidak bisa buka bukti itu ke masyarakat agar tidak terjadi perpecahan di masyarakat. Jangan sampai ada konflik, itu yang kita jaga,” tukas Iwan.


Andarias Mabruaru, Kepala Kampung Konda (FOTO: TANTOWI)

 

Namun kesaksian ini kontra dengan pengakuan Andarias Mabruaru, Kepala Kampung Konda. “Sa (saya) minta tunjukkan siapa saja masyarakat yang dulu menyetujui ada perkebunan sawit di sini? Tolong sebut, kami ingin tahu,” katanya, dalam perbincangan dengan jurnalis iNews, 29 Oktober lalu.

“Kami masyarakat adat sebagai pemilik lahan, belum pernah diminta persetujuan oleh pemerintah daerah dan perusahaan terkait rencana usaha dan izin perusahaan. Kami tidak setuju. Kami justru menolak rencana perusahaan,” kata Andrianus Kamerai, Kepala Kampung Bariat.

Andrianus maupun Andarias, satu suara dengan Korinus Seranik, tokoh pemuda Suku Tehit. Masyarakat baru tahu akan ada perusahaan sawit yang sudah mengantongi izin setelah mengikuti sosialisasi.

Pada 2013, ASI melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat adat di Distrik Konda, untuk sosialisasi terkait rencana perusahaan untuk mengembangkan usaha perkebunan sawit di daerah itu.

Korinus bilang, saat itu masyarakat tak menyetujui. Sebaliknya, masyarakat menolak rencana perusahaan, karena alasan hutan itu tempat mereka mencari penghidupan.

“Kami tidak mau kehilangan mata pencaharian,” kata Korinus.


Diskusi bersama aktivis lingkungan dan masyakarat adat yang menolak ekspansi perkebunan sawit di wilayah mereka (FOTO: TANTOWI)

 

Penolakan itu kembali disampaikan masyarakat pada Agustus 2015, saat ASI dan PUA sosialisasi dan konsultasi publik analisis dampak lingkungan (andal) di Gedung Wanita, Sorong Selatan. Warga Teminabuan dan Konda yang mengikuti pertemuan memberikan kesaksian kalau masyarakat menolak rencana perusahaan.

Kedaulatan masyarakat pemilik ulayat, jadi penentu langkah selanjutnya. Menurut Suroso, keputusan Bupati Sorong Selatan yang menerbitkan izin lokasi dan IUP, bukanlah kebijakan final yang tidak bisa dibatalkan.

“Alur prosesnya dinamis, bisa sosialisasi ke masyarakat dulu baru diterbitkan izin, atau sebaliknya. Jadi, meski izin sudah terbit namun setelah sosialisasi ada penolakan, ya bisa dibatalkan surat itu. Masalah di Sorsel ini sama persis dengan kejadian di Kabupaten Sorong,” katanya, yang kini menjabat Asisten II Setda Kabupaten Sorong.

Sejatinya, tanpa harus mencabut izin lokasi maupun IUP, perusahaan tidak bisa melanjutkan niat membongkar hutan ketika bupati tidak memperpanjang izin yang punya umur tiga tahun itu. Suroso bilang, bisa saja bupati berdalih, menolak memperpanjang izin karena masyarakat menolak kehadiran perusahaan sawit.

Faktanya, pada 2020, Bupati Sorong Selatan menerbitkan SK Nomor 401/292/BSS/IX/2020 tertanggal 10 September 2020 tentang perpanjangan izin lokasi untuk ASI. Hanya, luas lokasi dari 37.000 hektar, jadi 14.667,26 hektar. Perpanjangan izin lokasi pada tanggal sama juga diberikan Bupati Sorong Selatan untuk PUA, dengan Nomor 402/292/BSS/IX/Tahun/2020. Luas izin PUA pun menyusut dari 25.000 hektar jadi 12.100,78 hektar.

Buah perjuangan

Sebelum perpanjangan izin pun masyarakat di Teminabuan dan Konda, sudah gencar menolak perusahaan sawit. Setelah perpanjangan, penolakan makin kuat.

Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan, pergerakan massa kembali masif sejak Maret 2020. Yayasan Pusaka, salah satu organisasi masyarakat sipil yang aktif mendampingi warga.

Pada 10 Maret 2020, misal, warga di Distrik Konda bermusyawarah dan sepakat menolak ASI dengan tiga alasan, pertama, wilayah adat makin terdesak, kedua, hutan tempat mencari makan dan minum masyarakat, ketiga, banyak tempat keramat bersejarah di dalam hutan adat itu.

Pada 18 Agustus 2020, Aliansi Masyarakat Sagu (AMASA) Papua Barat mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan proses pelepasan kawasan hutan untuk ASI. AMASA juga mendesak DPRD dan Bupati Sorong Selatan tak menyetujui perpanjangan izin ASI di Distrik Konda dan Teminabuan, dan operasi PUA, di Distrik Wayer dan Kais.

“Alasan masyarakat untuk melindungi hutan tersisa dan tempat masyarakat mencari nafkah,” kata Angky, sapaan Franky Samperante.

Lanjut pada 8 September 2020, masyarakat dari Distrik Konda dan Teminabuan aksi protes kepada pemerintah dan perusahaan saat sosialisasi. Pada sosialisasi itu, mereka meminta persetujuan masyarakat di Kampung Bariat, Distrik Konda, Sorong Selatan. 

Aksi massa ini terus berlanjut pada 20 Mei 2021. Ratusan warga adat dari berbagai kampung di Sorong Selatan yang terancam perkebunan sawit melakukan aksi di Kantor Bupati Sorong Selatan.


Infografis ekspansi perkebunan sawit di tanah Papua (FOTO: ISTIMEWA)

 

Rangkaian aksi penolakan atas perusahaan sawit yang dilancarkan masyarakat Teminabuan dan Konda, membuahkah hasil dengan dicabutnya dua izin prinsip perusahaan sawit yang dikeluarkan Bupati Sorong Selatan. Pada 3 Mei 2021, Bupati Samsudin Anggiluli menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan izin lokasi dan IUP untuk tiga perusahaan sawit.

Untuk ASI, pencabutan IUP dituangkan dalam SK Nomor 025/102/BSS/V/2021 Tanggal 03 Mei 2021 tentang Pencabutan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 525/82/BSS/2014 Tanggal 25 Februari 2014 tentang Pemberian Izin Usaha Perkebunan PT Anugerah Sakti Internusa. 

Untuk pencabutan izin lokasi perusahaan ini, tertuang dalam SK Nomor 025/104/BSS/V/2021 Tanggal 03 Mei 2021 tentang Pencabutan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 525/184/BSS/XII/2013 Tanggal 16 Desember 2013 tentang Pemberian Izin Lokasi PT Anugerah Sakti Internusa seluas 37.000 hektar.

Terhadap PUA, Bupati mencabut IUP melalui SK Nomor 025/101/BSS/V/2021 Tanggal 03 Mei 2021 tentang Pencabutan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 525/83/BSS/2014 Tanggal 25 Februari 2014 tentang Pemberian Izin Usaha Perkebunan PT Persada Utama Agromulia. 

Sedangkan pencabutan izin lokasi diputuskan dalam SK Nomor 025/105/BSS/V/2021 Tanggal 03 Mei 2021 tentang Pencabutan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 525/183/BSS/XII/2013 Tanggal 16 Desember 2013 tentang Pemberian Izin lokasi PT Persada Utama Agromulia seluas 25.000 ha.


Info Grafis ekspansi perkebunan sawit di tanah Papua (FOTO: ISTIMEWA)

 

Bupati Anggiluli juga mengeluarkan SK pencabutan izin lokasi untuk PT Internusa Jaya Sejahtera melalui SK Nomor 025/106/BSS/V/2021 Tanggal 03 Mei 2021 tentang Pencabutan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 525/182/BSS/XII/2013 Tahun 2013 tentang Pemberian Izin lokasi PT Internusa Jaya Sejahtera seluas 40.000 hektar.

Bupati menyerah?

Keputusan Bupati Sorong Selatan mencabut izin lokasi dan IUP perusahaan sawit itu, berbuntut pada proses hukum. Pada 29 Desember 2021, dua dari tiga perusahaan Indonusa Agromulia Group yang dicabut izinnya, menggugat Bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jayapura.

Perkara ini didaftarkan dengan nomor 46/G/2021/PTUN.JPR atas perkara PUA dan Nomor Perkara 46/G/2021/PTUN.JPR atas perkara ASI. Dalam perjalanan sidang, pada 23 Mei 2022 majelis hakim PTUN Jayapura memutuskan “Menolak Permohonan Penundaan yang diajukan Penggugat” dan Menyatakan Gugatan Penggugat tidak diterima.

Tidak terima dengan putusan itu, ASI dan PUA mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Makassar. Memori banding yang disampaikan pada 20 Juni 2022, mendapatkan hasil yang memuaskan bagi perusahaan. Majelis hakim PT TUN Makassar mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan objek sengketa sampai ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, putusan PT TUN juga mengabulkan gugatan Penggugat/Pembanding untuk seluruhnya; serta menyatakan batal keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Bupati Sorong Selatan.


Infografis ekspansi perkebunan sawit di tanah Papua (FOTO: ISTIMEWA)

 

Atas kekalahan di meja banding, awalnya Bupati Sorong Selatan menyampaikan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung, dengan mendaftarkan perkaranya pada 31 Agustus 2022. Belakangan keputusan itu dianulir.

“Saya diperintahkan Pak Bupati untuk mencabut pendaftaran kasasinya. Pak Bupati tidak mau kasasi,” kata Theodorus H. Thesia, Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten Sorong Selatan, 29 Oktober 2022.


Andarias Mabruaru, Kepala Kampung Konda (FOTO: TANTOWI)

 

Bupati Samsudin Anggiluli saat dimintai konfirmasi atas keputusan ini, mendelegasikan ke Nimrod Nauw, Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, Persandian dan Statistik. Kepada media ini, Nimrod menyebut tidak ada alasan istimewa dari keputusan Bupati Sorong Selatan.

“Karena pertimbangan kesibukan beliau saja. Karena kalau ini diteruskan (Kasasi), pastinya proses akan lama, butuh waktu yang dan biaya lagi,” kata Nimrod.

Opsi yang akan ditempuh Bupati, adalah mempertemukan pihak perusahaan dengan masyarakat untuk melakukan musyawarah. Mediasi ini disebut sebagai langkah yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak dalam mencari solusi.

Banyak pihak yang menyayangkan keputusan bupati menganulir langkah kasasinya di Mahkamah Agung. Bagi Angky, persoalan hukum yang bergulir di meja persidangan dengan mediasi perusahaan dan masyarakat adat, adalah dua hal yang berbeda. Yang berseteru di pengadilan adalah pihak pemerintah dan perusahaan.

“Bukan perusahaan dengan masyarakat. Jadi kalau tidak melanjutkan kasasi dengan dalih akan menempuh jalur mediasi, ini agak kurang nyambung. Mestinya bupati gunakan kesempatan hukum untuk mempertahankan putusannya,” kata Angky.

Pendapat Angky juga diamini Iwan, kuasa hukum ASI dan PUA. Ia menyambut baik upaya bupati mencabut upaya kasasi di MA, dan akan mempertemukan perusahaan dengan masyarakat. Iwan bilang, perusahaan sepenuhnya siap dipertemukan, karena selama ini pihaknya tidak punya catatan konflik dengan masyarakat. 

Bahkan pertemuan itu diyakini akan membuka persoalan semakin benderang, bagaimana dulu proses sosialisasi ke masyarakat pemilik ulayat hingga terbitnya izin lokasi dan IUP oleh Bupati Otto Ihalauw. Munculnya penolakan dari masyarakat yang belakang masif berlangsung, kata Iwan, karena adanya provokasi dari sejumlah pihak setelah Bupati Samsudin mencabut izin lokasi dan IUP ASI dan PUA.

Imbas menyerah di jalur hukum, adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bupati. Apalagi selaku kepala daerah, Samsudin tidak menjelaskan secara gamblang alasan menganulir langkah kasasinya. “Kan proses ini juga tidak mengganggu kesibukan bupati. Ada pengacara yang akan mengurusnya, bukan bupati yang turun sendiri,” tukas Angky.

Sebagai pendamping masyarakat, Angky turut menyesali langkah tersebut. Pasalnya, keputusan bupati mencabut izin lokasi dan IUP hingga menghadapi persidangan di PTUN dan PT TUN, mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk masyarakat adat di Teminabuan dan Konda.


Infografis ekspansi perkebunan sawit di tanah Papua (FOTO: ISTIMEWA)

 

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memfasilitasi diskusi akademis-kritis untuk mengkaji dan memeriksa putusan PT TUN Makassar dan Kasasi antara Bupati Sorong dan Sorong Selatan melawan perusahaan perkebunan sawit, yang dilakukan di Jakarta pada 15 - 16 November 2022.

Pertemuan ini mengundang peserta masyarakat adat terdampak dari Sorong dan Sorong Selatan, perwakilan LMA Malamoi Sorong, AMAN Sorong Raya, Relawan Tolak Sawit Sorong Selatan, perwakilan pemerintah daerah Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, Pendamping Hukum Bupati Sorong dan doktor Aan Eko Widiarto, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya.


Pertemuan masyakarat adat dengan Komnas HAM RI (FOTO: TANTOWI)

 

Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan adalah dua dari lima kabupaten di Papua Barat yang terdapat izin operasional perusahaan sawit bermasalah. Hasil dari evaluasi Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap izin 30 perusahaan sawit, sedikitnya ada 12 izin perusahaan yang dicabut oleh masing-masing kepala daerah, yakni empat di Sorong Selatan, 4 di Sorong, 2 di Teluk Bintuni, serta di Fakfak dan Teluk Wondama masing-masing 1 izin. 


Info Grafis ekspansi perkebunan sawit di tanah Papua (FOTO: ISTIMEWA)

 

Evaluasi izin sawit di Papua Barat berlandaskan pada Deklarasi Manokwari, Instruksi Presiden Moratorium Sawit Nomor 8/2018, dan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).

Johny Kamuru, Bupati Kabupaten Sorong pada 27 April 2021, mencabut izin empat perusahaan sawit, yakni PT. Sorong Agro Sawitindo, PT. Inti Kebun Lestari, PT. Papua Lestari Abadi, dan PT. Papua Cipta Plantation yang secara berturut-turut mendapat IUP seluas 40.000 hektar, 34.400 hektar, 15.631 hektar, dan 15.671 hektar.

Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli juga mencabut izin empat perusahaan. Yaitu PT. Anugerah Sakti Internusa, PT. Internusa Jaya Sejahtera, PT. Persada Utama Agromulia, dan PT. Varia Mitra Andalan pada Mei 2021.

Atas keputusan itu, Bupati Sorong dan Sorong Selatan sama-sama menghadapi gugatan perdata di PTUN Jayapura hingga PT TUN Makassar yang diajukan perusahaan. 

Kabag Hukum Kabupaten Sorong, Demianus Aru, menyampaikan putusan pencabutan izin perusahaan perkebunan sawit berkaitan dengan pelanggaran administrasi pemerintah secara substansi dan prosedural. 

Namun dalil dan Putusan PT TUN dan MA tidak memperhatikan dasar alasan putusan yang menjadi fokus pemerintah dalam pencabutan izin, yang mana dinilai perusahaan telah melanggar dan belum memenuhi syarat ketentuan substansi dan prosedural.

Terkait putusan banding PT PLA di Sorong, menurut ahli Dr. Aan Eko Widiarto, argumen hukum hakim cenderung hanya mempertimbangkan aspek formal administratif, tanpa melihat fakta dan signifikansi ancaman dampak sosial dan lingkungan, yang cukup baik jadi pertimbangkan hakim dalam Putusan TUN Jayapura. 

“Putusan Kasasi (untuk perkara Kabupaten Sorong) tentang pelanggaran asas pemberian kesempatan yang layak, asas ini belum ditemukan dalam literatur hukum. Seharusnya hakim menerapkan asas kepentingan umum, mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum, dalam pertimbangan putusan”, jelas Aan Eko Widiarto, menanggapi putusan Kasasi yang diajukan Bupati Sorong.


Masyakarat Adat di gedung MK (FOTO: TANTOWI)

 

Proses persidangan di PT TUN dan Kasasi di Mahkamah Agung juga dilakukan secara tertutup, sehingga ada keterbatasan dalam memantau dan mengetahui proses musyawarah hakim. Hal ini mempengaruhi opini masyarakat yang mempertanyakan situasi persidangan dan putusan pertimbangan yang digunakan hakim

“Harus ada perubahan dalam sistem peradilan untuk dapat dilakukan secara terbuka dan dapat dipantau masyarakat”, jelas Nur Amalia, selaku penasehat hukum Pemerintah Kabupaten Sorong.

Dalam Surat Pernyataan Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil dan Masyarakat Adat, yang disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, perlu kebijakan pemerintahan yang adil dan bersih, transparan dan bertanggung jawab, dan dengan memajukan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Koalisi juga mengimbau kepada media massa dan semua pihak untuk melakukan pemantauan atas proses pengadilan yang sedang berlangsung.

“Kami meminta Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam persidangan perkara gugatan perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan untuk dilakukan secara terbuka, membuat putusan yang adil dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, serta mempertimbangkan fakta lapangan terkait keberadaan dan hak-hak hidup masyarakat adat, dan keberlanjutan lingkungan hidup”, kata Sopice Sawor, tokoh Perempuan Adat dari Suku Tehit Afsya, Kabupaten Sorong Selatan.

Perwakilan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil, mendukung Bupati Sorong dan Bupati Sorong Selatan dalam melakukan upaya hukum atas gugatan perusahaan sawit di Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan.

“Kami tetap mendukung Bupati Sorong dan Sorong Selatan untuk melakukan perlawanan hukum demi keadilan, perubahan dan pemajuan tata kelola yang menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta keberlanjutan lingkungan hidup,” kata Yustinus Konjol, perwakilan Suku Tehit dari Kampung Wersar, Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan.


Infografis ekspansi perkebunan sawit di tanah Papua (FOTO: ISTIMEWA)

 

Dukungan ini juga bergulir dari Komnas HAM dan KPK, saat menerima kunjungan Koalisi Masyarakat Sipil di Kantor Komnas HAM pada 16 November 2022 dan d Gedung KPK pada 17 November. Dian Patria,

Ketua Satgas Supervisi dan Pencegahan KPK Wilayah Maluku Papua menegaskan, pihaknya akan turut memantau proses hukum agar majelis hakim dapat memberikan putusan yang adil dan tidak didasarkan kepentingan tertentu. Penegasan ini juga disampaikan Uli Parulian Sihombing, Komisioner Komnas HAM.

“Kami akan mempelajari putusan dan memberikan pendapat hukum dan membuat amicus curiae (sahabat peradilan) terhadap perkara dimaksud”, ungkap Uli Parulin Sihombing, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat juga menyampaikan Amicus Curiae terhadap Perkara Nomor 576.K/TUN/2022 antara ASI melawan Bupati Sorong Selatan, dan Perkara Nomor 577.K/TUN/2022 antara PUA melawan Bupati Sorong Selatan. “Perjuangan belum berakhir,” kata Angky. (bersambung)

 

 

Liputan ini bagian dari program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak tahun 2022.

Editor : Chanry Suripatty

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network