Solidaritas Merauke Tegas Tolak Perampasan Tanah Adat Atas Nama Proyek Strategis Nasional

MERAUKE, iNewssorongraya.id – Polemik proyek kebun tebu di bawah skema Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke kembali memicu perlawanan masyarakat adat. Kali ini, tanah ulayat milik masyarakat adat Yei di Distrik Jagebob diserobot oleh PT Murni Nusantara Mandiri (MNM), perusahaan yang tercatat sebagai bagian dari konsorsium PSN.
Aksi penyerobotan berlangsung pada Senin (15/9/2025), ketika alat berat berupa ekskavator dan buldoser membuka hutan adat milik marga Kwipalo untuk membangun akses jalan menuju Distrik Jagebob XI. Tindakan itu langsung ditentang oleh Vincen Kwipalo, pemilik ulayat, yang bersama kerabatnya mencoba menghentikan aktivitas perusahaan.
“Pemilik ulayat selama ini teguh mempertahankan tanah adat dan sudah berkali-kali menyatakan tidak akan melepaskan tanah. Namun orang-orang perusahaan terus datang. Itu sudah masuk kategori intimidasi, dan hal tersebut diperparah dengan penyerobotan tanah adat yang terjadi belakangan ini,” tegas Teddy Wakum, pendamping hukum Vincen Kwipalo dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Merauke.
PT MNM diketahui mengantongi izin konsesi seluas 52.700 hektare, hampir setara dengan luas Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan pemantauan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, perusahaan ini telah membongkar hutan adat seluas 4.912 hektare hingga Agustus 2025.
Pada 2 September lalu, masyarakat adat dipaksa menghadiri pertemuan yang juga dihadiri pihak perusahaan dan pemerintah. Vincen Kwipalo menegaskan penolakannya dalam forum tersebut.
“Di area yang mereka gusur itu ada jalan kecil peninggalan moyang kami. Tak jauh dari situ wilayah tempat kami biasa berburu. Saya tidak pernah sepakat perusahaan ambil tanah adat marga Kwipalo,” ujar Vincen Kwipalo.
Kritik tajam juga datang dari kalangan aktivis lingkungan. Menurut catatan Greenpeace Indonesia, proyek PSN Merauke bukan hanya merampas hak-hak masyarakat adat, tetapi juga menghilangkan hutan alami serta mengancam keanekaragaman hayati.
“Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun telah menemukan pelanggaran-pelanggaran dari kegiatan PSN Merauke. Presiden harus menghentikan PSN Merauke, mengevaluasi dan menghentikan kebijakan yang merusak lingkungan hidup, dan memulihkan hak-hak masyarakat adat yang telah dilanggar,” ungkap Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Selain itu, dugaan keterlibatan aparat kepolisian dan militer dalam proyek ini juga dinilai menambah teror bagi masyarakat asli Papua yang menolak pelepasan tanah ulayat mereka.
Praktik perampasan tanah adat atas nama pembangunan PSN berpotensi menimbulkan sejumlah konsekuensi hukum, di antaranya:
Solidaritas masyarakat sipil di Merauke mendesak pemerintah pusat agar segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan proyek perkebunan tebu skala besar yang merampas tanah adat.
Bagi pendamping hukum dan aktivis lingkungan, PSN Merauke telah menjadi bukti nyata bagaimana kebijakan pembangunan dapat mengorbankan hak-hak dasar masyarakat adat.
Editor : Hanny Wijaya