YOGYAKARTA, iNews - Sebuah langkah kritis muncul dari kalangan akademisi hukum terkemuka di Indonesia terkait putusan dalam kasus korupsi yang menjerat mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Mardani H. Maming. Bedah buku berjudul "Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming", yang berlangsung di Yogyakarta belum lama ini mengungkap sisi gelap dari proses peradilan yang dianggap penuh kekhilafan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Topo Santoso, menjadi salah satu tokoh utama yang menyoroti adanya kesalahan mendasar dalam putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis pada Maming. Menurut Prof. Topo, berbagai elemen dalam putusan tersebut tidak hanya sekadar kekeliruan teknis, namun menunjukkan adanya kekhilafan yang nyata dari sisi hukum.
Konstruksi Hukum yang Diperdebatkan
Dalam pemaparannya, Prof. Topo mengungkapkan tiga isu utama yang menjadi dasar dari kritik terhadap putusan tersebut. Pertama, ia menyoroti unsur “menerima hadiah” yang dianggap tidak tepat. Menurutnya, fakta bisnis seperti fee dan dividen yang seharusnya masuk ranah keperdataan dipaksa masuk ke dalam konstruksi pidana oleh Jaksa Penuntut Umum, yang kemudian diterima oleh hakim.
Isu kedua menyangkut penggunaan unsur “sepatutnya diduga” untuk menunjukkan kelalaian terdakwa. Prof. Topo berpendapat bahwa unsur ini seharusnya diterapkan pada kasus culpa (kealpaan), sementara tindak pidana korupsi menuntut adanya unsur kesengajaan atau opzet.
Poin terakhir yang diangkat adalah penerapan Pasal 12 Huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) yang dinilai keliru. Menurut Prof. Topo, tidak ada bukti adanya niat jahat (mens rea) dari tindakan Maming. “Fakta-fakta bisnis yang ada, seperti transfer antar perusahaan dan utang-piutang, seharusnya dipisahkan dari pidana,” tegasnya.
Kritik Keras terhadap Putusan Berlapis
Kasus ini tidak hanya berhenti di pengadilan negeri. Vonis yang sama dijatuhkan pada tingkat banding dan kasasi, meskipun tim eksaminator hukum menemukan berbagai celah hukum yang seharusnya menjadi perhatian. Dalam acara bedah buku tersebut, terungkap bahwa putusan-putusan tersebut tidak berbasis pada fakta-fakta hukum yang ada di persidangan, melainkan lebih pada konstruksi asumsi yang dibangun oleh jaksa penuntut.
Prof. Dr. Ridwan Khairandy, salah satu anggota tim eksaminator, juga menyoroti bahwa kasus ini tidak sekadar persoalan teknis hukum. "Ini adalah preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia, ketika hakim mengabaikan bukti-bukti dan malah mendasari putusannya pada asumsi," ungkapnya.
Buku ini merupakan hasil kajian mendalam oleh tim ahli yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu hukum, mulai dari hukum perdata hingga hukum pidana. Mereka secara kolektif menyimpulkan bahwa ada kekhilafan yang signifikan dalam setiap tingkatan putusan.
Tuntutan untuk Pemulihan Nama Baik
Selain mengkritik proses peradilan, para akademisi juga menyerukan agar Mahkamah Agung segera mengambil langkah untuk memulihkan nama baik Maming. Berdasarkan analisis hukum yang disampaikan dalam buku ini, Maming dianggap tidak bersalah dan seharusnya dibebaskan dari segala tuntutan. Prof. Topo menekankan pentingnya pemulihan harkat dan martabat terdakwa sesuai dengan keadaan sebelumnya.
"Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa hukum tidak boleh dipermainkan atau dipengaruhi oleh kepentingan di luar hukum itu sendiri," pungkas Prof. Topo.
Menciptakan Diskursus Baru
Acara ini menjadi momen penting dalam sejarah akademik hukum di Indonesia, di mana kritikan terhadap putusan pengadilan dipresentasikan dalam bentuk eksaminasi publik. Buku tersebut tidak hanya mengungkap kekhilafan hakim, tetapi juga menimbulkan diskusi lebih lanjut tentang integritas proses peradilan di negeri ini.
Dengan adanya diskusi dan eksaminasi ini, diharapkan para pelaku hukum dapat lebih berhati-hati dalam memutuskan perkara, dan penegakan hukum di Indonesia dapat berjalan lebih adil, bebas dari pengaruh-pengaruh yang merusak keadilan.
Editor : Chanry Suripatty